(Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle)
Tahun lalu di Aula Timur ITB, saya diundang alumni Keluarga Mahasiswa Islam ITB, dalam peringatan ultah mereka ke 30. Munawar Kholil, yang sering dipanggil ustad menyebutkan kebanggaannya atas kehadiran saya pidato di sana.
Saya pun bangga. 30an Tahun lalu itu mereka men cap saya Kafir. Kenapa mereka mencap saya Kafir? Karena memang pemikiran2 politik (kemahasiswaan) saya waktu itu sedikitpun tidak bersinggungan dengan AlQuran.
Mempelajari ilmu2 sosial ataupun agama bagi mahasiswa ITB (sains/teknik) tentu merupakan kegiatan minor. Boro2 lihat buku2 sosial, pelajaran minor aja seperti Pancasila, Civic dll biasanya tidak diminati.
Dalam masa2 itu mempelajari agama selain di Masjid, terbuka kesempatan pada pengajian2 perantauan sekampung. Buat anak2 Medan, karena kesamaan asal, mendapatkan kesempatan belajar ngaji dengan Dr. Imaduddin Abdurrahim, tokoh Masjid Salman yang diusir dari Indonesia, dan baru kembali tahun 1986. Interaksi anak2 Medan, ada saya diantaranya, memberi kesempatan bagi saya mempelajari Islam dalam bahasa yang rasional.
Islam Tauhid
Cara2 membedah Islam dengan rasionalitas dan logika, misalnya bagaimana pentingnya Setan dalam meningkatkan Iman manusia, diilustrasikan bang Imad, panggilannya, dalam teori gesekan ilmu Fisika Newton.
"Gaya gesek itu penting untuk membuat benda bergerak. Jika permukaan licin, koefisien gaya gesek mendekati nol, maka benda akan tergelincir. Gaya gesek itu ibarat Setan, yang mumbuat iman kita meningkat atau menurun", katanya
Ilustrasi lain tentu banyak yang berkaitan, seperti gaya gravitisasi, petir terkait sunnatullah, dll. Sunnatullah adalah ketentuan Allah yang berlaku umum.
Pengalaman saya belajar Islam dengan Imaduddin Abdurrahman membuat Islam hadir kembali dalam diriku. Dulu Islam membuatku minder. Masa2 kecilku yang SD di di Alwashliyah dan sore di madrasah Muhammadiyah di Medan, waktu bersamaan, dalam suasana urbanisasi kota Medan, di mana Islam terpinggirkan, membuatku memandang Islam hanyalah ajaran pinggiran yang sulit diharapkan.
Karena kemampuan Imaduddin menunjukkan bahwa Islam adalah ajaran buat orang2 yang mau berpikir, artinya sangat sesuai dengan kekuatan otak manusia, dan dinyatakan dalam AlQuran, membuat keyakinanku bahwa Islam mampu berkontestasi dengan ajaran2 lain.
Lalu bagaimana dengan tuhan? Tuhan menurut Imaduddin adalah segala sesuatu yang menakutkan manusia. Ini membuatku bingung karena persepsiku sebelumnya, tuhan adalah makhluk. Namun, dalam perspective bang Imad, itu bisa makhluk, bisa bayangan, bisa faham dlsb yang menakutkan kita. Itu adalah tuhan. Dan ajaran Islam itu adalah Lailaha ilallah. Tiada tuhan selain Allah. Artinya, tiada yang saya takuti selain Allah.
Setiap manusia menurut Bang Imad pasti Islam ketika diperut, ketika usia Ruh ditiupkan. Mereka berikrar Tiada Tuhan Selain Allah. Oleh karenanya setiap manusia mempunyai kecenderungan kepada kebaikan (hanif).
Tesis ini berkebalikan dengan ajaran bahwa manusia terlahir dengan dosa bawaan. Justru dosa dan pengingkaran kepada Allah terjadi dalam perjalanan hidup manusia di dunia. Yang kedua dalam perspektif bang Imad soal mamusia adalah semua manusia itu sedrajat.
Itu disebabkan doktrin Laila Hailallah, yakni setiap manusia yang tidak takut kepada tuhan2 tetapi hanya kepada Allah, hanya diukur derajatnya oleh keimanan dan amal saleh, bukan oleh harta benda, kedudukan sosial, keturunan, warna kulit. dlsb.
Islam Sosialis
Berinteraksi dengan Imaduddin berputar soal Tauhid. Namun, itu adalah fondasi utama dalam memahami Islam. Kepercayaan kepada Allah, drajat manusia di muka Allah dan kegunaan akal.
Perjalan saya menggali Islam berikutnya adalah ketika saya berinteraksi dengan Alm. Adi Sasono. Pada tahun '92 ketika dia merekrut saya di LSM PUPUK. Sambil menyetir, dia memulai pembicaraan tentang moral, ketika saya duduk disampingnya dari Bandung ke Jakarta.
"Apa menurut kamu tentang moral itu Syah?", tanyanya. Saya mengatakan bahwa moral adalah ukuran2 kepantasan yang seseorang hindari yang dilarang agama, seperti minuman keras, sex bebas dlsb.
Menurutnya itu bukanlah urusan moral. Moral menurutnya adalah banyaknya orang2 yang mengaku berjuang (kala itu melawan Suharto), namun saat ini asyik2 belajar ke luar negeri, nanti pulang merasa paling tahu soal rakyatnya.
Saya belum memahaminya saat itu, namun kelak saya mengerti bahwa Adi Sasono merasa ditinggalkan banyak aktifis2 yang kala itu memburu beasiswa sekolah ke luar negeri. Sementara, mengurus rakyat ditinggalkan.
Sebagai tokoh LSM, Adi Sasono menjadi salah satu konektor terhadap beasiswa studi ke LN. Menurutnya, orang2 yang dulu berjuang, lalu sekolah ke LN, pulangnya menjadi konsultan asing, bukan mengurus rakyat. Jadi mereka manusia kurang bermoral.
Rakyat, sekali lagi rakyat adalah kosa kata yang 24 jam sepanjang tahun demi tahun yang dibicarakan Adi Sasono.
Menurutnya ajaran Islam itu sejatinya membantu rakyat miskin. Sebelum membantu rakyat miskin, seseorang itu harus keluar dari Kemiskinan dirinya sendiri. Namun, menolong rakyat miskin adalah Fardu Ain (Kewajiban Utama).
Tapi ajaran Islam dalam perspektif Adi Sasono baru muncul menjelang lahirnya ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia), awal tahun 90an.
Maksudnya, selama sebelumnya, Adi tidak mengkaitkan aktifitasnya dengan masa lalunya sebagai ketua Himpunan Mahasiswa Islam di Bandung, aktifis Masjid Salman ITB dan cucu pendiri Partai Masyumi, Mohammad Roem.
Namun, ketika terjadi pergumulan pengaruh antara kelompok pengikut Imaduddin, kelompok2 birokrasi binaan Habibie dan kelompok aktifis2 LSM, Adi Sasono bersama kelompoknya seperti Dawam Raharjo, AM Syaifuddin dll, mulai membangun narasi Islam dan perubahan sosial.
Islam menurut Adi adalah ajaran keadilan sosial. Ketika suatu hari saya mengingatkan dia sebagai Menteri Koperasi di mana programnya membagi2 uang KUT (Kredit Usaha Tani) triliyunan rupiah kepada rakyat mengandung bahaya jika tidak dikembalikan, karena tanpa agunan, dengan santainya Adi Sasono mengatakan biarin aja.
Kalau uang rp. 5 T, misalnya, dibagi 5 juta rakyat, masing2 dapat sejuta, terus ngemplang, itu pasti habisnya buat makan. Kalau Konglomerat ngemplang ratusan Triliun, dipake apa? Secara moral, rakyat tak bisa disalahkan, katanya.
Cuma dua yang ada dikepala Adi Sasono ketika Menteri Koperasi, 1) membangun Masjid di kementerian. Mungkin ini khas orang Jawa berkuasa? 2) membagi2kan kekayaan negara untuk rakyat.
Kalau Adi Sasono berkuasa lebih kuat, yang diinginkannya adalah semua distribusi (pupuk, minyak goreng, gula, beras, dlsb) harus dipegang pribumi. Lalu asset2 BLBI dibagikan ke ormas2 seperti Muhammadiyah dan NU.
Dalam lingkungan politik Adi Sasono, ayat ayat Quran yang sering distir kebanyakan berkaitan dengan distribusi, redistribusi dan keadilan sosial. Misalnya ayat yang mengatakan "terdapat harta orang2 miskin diantara harta orang kaya".
Kelompok Adi Sasono yang selalu bergumul dengan keadilan sosial sering kali di cap sebagai Islam Sosialis. Kadangkala dijuliki Islam Semangka (luarnya hijau dalamnya merah - merah istilah untuk sosialis).
Islam 212
Ketertarikan saya sangat dalam terhadap Islam sebagai sebuah ajaran muncul kembali pada fenomena 212 ini. Di mana Habib Rizieq menjadi sentral figur.
Habib Rizieq menurut saya berhasil menyatukan apa yang saya dapatkan secara terpisah dari Imaduddin Abdurrahim dan Adi Sasono. Sebagai ajaran ilahiah, Islam dalam pandangan Habib Rizieq bukan ajaran terisolasi. Terisolasi maksudnya ajaran yang hanya memuaskan seorang individu. Melainkan juga ajaran keadilan sosial.
Ketika Habib Rizieq meninggikan keesaan Allah dalam pembahasan Pancasila, sekaligus membahas bagaimana 9 Naga (gelar untuk para Cukong2 yang menguasai Indonesia), harus jadi 9 cacing, komprehensifitas pemikiran2 Islam Habib Rizieq terlihat utuh.
Tauhid dalam perspektif Hb Rizieq adalah penghambaan kepada Allah via logik, via Zikir dan doa. Imaduddin menekankan Zikir pada perenungan atas alam semesta dan tanda2nya. Habib Rizieq sekaligus pada Zikir verbal dan massal.
Zikir dan doa dalam skala massa bisa juga berarti sosialisme Islam bersifat ganda, yakni memuja Allah dan kemakmuran bersama.
Ini tentu melewati pikiran Imaduddin sekaligus Adi Sasono. Namun, Habib Rizieq dan kedua mereka segaris pada perjuangan keummatan. Ummat Islam harus di depan, bukan dipinggiran apalagi diemperan. Dan ketiga mereka tidak bersekutu dengan Jahudi dan asing dalam memajukan Islam.
Penutup
Tulisan ini hanya sebuah renungan saya tentang sulitnya berguru dalam perspektif Islam. Belajar Islam adalah belajar seumur hidup. Sementara ilmu2 sosial barat belum mampu menjadi tuan rumah.
Sedangkan "ajaran2 Islam" yang kebanyakan berkembang seringkali berkompromi dengan kejahatan2 politik dan tidak mempunyai dimensi keadilan sosial. Padahal ajaran agama merupakan "windows" untuk seorang manusia menuju Tuhannya dan kehidupan di surga kelak.
Sedangkan "ajaran2 Islam" yang kebanyakan berkembang seringkali berkompromi dengan kejahatan2 politik dan tidak mempunyai dimensi keadilan sosial. Padahal ajaran agama merupakan "windows" untuk seorang manusia menuju Tuhannya dan kehidupan di surga kelak.
=======================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar