Untuk memperkaya dan sekaligus membandingkan ruang lingkup definisi politik
dalam pandangan Barat dengan Islam maka patut kiranya kita melihat bagaimana pengertian
politik baik secara terminologis maupun definitif dalam Islam.
Dalam pelbagai kitab Islam klasik dan kontemporer banyak diungkap pandangan para ulama dan cendekiwan Islam tentang hal ikhwah politik Islam atau biasa disebut dengan siyasah syar’iyyah.
Besarnya perhatian umat Islam akan isu ini menurut Bakhtiar Effendi - Cendekiawan Muslim - adalah wajar dan bukan hal yang baru karena Islam, umat Islam ataupun kawasan Islam tidak dapat dipisahkan dari persoalan-persoalan politik.
Dalam pelbagai kitab Islam klasik dan kontemporer banyak diungkap pandangan para ulama dan cendekiwan Islam tentang hal ikhwah politik Islam atau biasa disebut dengan siyasah syar’iyyah.
Besarnya perhatian umat Islam akan isu ini menurut Bakhtiar Effendi - Cendekiawan Muslim - adalah wajar dan bukan hal yang baru karena Islam, umat Islam ataupun kawasan Islam tidak dapat dipisahkan dari persoalan-persoalan politik.
Secara terminologis, siyasah merupakan
mashdar dari akar kata sâsa – yasûsu
- siyasatan. Dalam kalimat “sasa addawaba yasusuha siyasatan” memiliki
arti “qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha”
yakni mengurusi, melatih, dan mendidiknya.
Bila dikatakan “sasa al amra” maka berarti “dabbarahu” yakni mengurusi atau mengatur perkara. Jadi makna siyasah jika dikaitkan dengan masyarakat maka dapat diartikan sebagai pemeliharaan (riayah), perbaikan (ishlah), pemberian petunjuk (taqwim) dan pendidikan (ta’dib).
Bila dikatakan “sasa al amra” maka berarti “dabbarahu” yakni mengurusi atau mengatur perkara. Jadi makna siyasah jika dikaitkan dengan masyarakat maka dapat diartikan sebagai pemeliharaan (riayah), perbaikan (ishlah), pemberian petunjuk (taqwim) dan pendidikan (ta’dib).
Menukil keterangan Ibnu Mundzir dalam Lisanul Arab, assus yang berasal dari kosa kata sawasa memiliki arti kepemimpinan. Sasuhum susan berarti mereka mengangkat pemimpin dan jika dikatakan sawwasuhu wa asasuhu wa sasal amra siyasatan maka berarti seseorang yang mengatur urusan politik.
Adapun orang yang mengatur dan memimpin suatu kaum maka disebut sasah was sawwas. Rasulullah SAW sendiri menggunakan istilah siyasah dalam sabdanya:
“Adalah
Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain
datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para
khalifah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadist ini menjelaskan makna siyasah sebagai upaya mengurusi urusan Bani
Israil yang dilakukan para nabi dan adapun setelah sepeninggal Rasulullah SAW, para
khalifah akan menggantikan tugas Nabi dalam mengurusi urusan kaum Muslimin.
Jadi ruang lingkup
pengertian as-siyasah adalah
kewajiban menjalankan sesuatu yang dapat mendatangkan kemaslahatan dan adapun as-sais adalah pemimpin yang mengatur
dan menangani urusan rakyat serta mampu mendatangkan kemaslahatan bagi rakyatnya.
As-siyasah jika dikaitkan dengan urusan kaum Muslimin atau sering
disebut dengan as- siyasah as syar’iyah dapat diartikan
sebagai segala upaya untuk memperhatikan urusan kaum Muslimin, dengan jalan
menghilangkan kezaliman penguasa dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari
mereka.
Untuk melakukannya, kaum Muslimin hendaknya mengetahui apa yang dilakukan pemimpin, mengingkari keburukan yang dilakukan pemimpin atas rakyatnya, menasehati pemimpin jika melakukan kedurhakaan kepada rakyat dan memeranginya jika melakukan kekufuran yang nyata (kufrun bawahan).
Untuk melakukannya, kaum Muslimin hendaknya mengetahui apa yang dilakukan pemimpin, mengingkari keburukan yang dilakukan pemimpin atas rakyatnya, menasehati pemimpin jika melakukan kedurhakaan kepada rakyat dan memeranginya jika melakukan kekufuran yang nyata (kufrun bawahan).
Ruang lingkup
peran siyasah ini sejalan dengan pengertian
hadist:
“Siapa saja yang
tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin maka dia bukan dari golongan mereka.” (HR. Al Hakim)
“Jihad yang utama
adalah kalimat haq didepan penguasa jahat.” (HR. Ahmad)
Politik dalam Pandangan Cendekiawan dan
Ulama
Ibnu Taimiyyah
dalam Kitab Siyasah as-Syar’iyyah,
hal 168 menjelaskan:
“Wajib diketahui bahwa mengurusi dan melayani kepentingan
manusia merupakan kewajiban terbesar agama dimana agama dan dunia tidak bisa
tegak tanpanya.
Sungguh bani Adam tidak akan lengkap kemaslahatannya dalam agama tanpa adanya jamaah dan tidak ada jamaah tanpa adanya kepemimpinan. Nabi bersabda: ‘Jika keluar tiga orang untuk bersafar maka hendaklah mereka mengangkat salah satunya sebagai pemimpin’ (HR. Abu Daud).
Nabi mewajibkan umatnya mengangkat pemimpin bahkan dalam kelompok kecil sekalipun dalam rangka melakukan amar ma’ruf nahi munkar, melaksanakan jihad, menegakkan keadilan, menunaikan haji, mengumpulkan zakat, mengadakan sholat Ied, menolong orang yang dizalimi, dan menerapkan hukum hudud.”
Sungguh bani Adam tidak akan lengkap kemaslahatannya dalam agama tanpa adanya jamaah dan tidak ada jamaah tanpa adanya kepemimpinan. Nabi bersabda: ‘Jika keluar tiga orang untuk bersafar maka hendaklah mereka mengangkat salah satunya sebagai pemimpin’ (HR. Abu Daud).
Nabi mewajibkan umatnya mengangkat pemimpin bahkan dalam kelompok kecil sekalipun dalam rangka melakukan amar ma’ruf nahi munkar, melaksanakan jihad, menegakkan keadilan, menunaikan haji, mengumpulkan zakat, mengadakan sholat Ied, menolong orang yang dizalimi, dan menerapkan hukum hudud.”
Lebih jauh Ibnu
Taimiyyah –mengutip Khalid Ibrahim Jindan- berpendapat bahwa kedudukan agama
dan negara ”saling berkelindan, tanpa
kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya, sementara
tanpa wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik.”
Pendapat Ibnu Aqil
seperti yang dikutip Ibnu Qayyim mendefinisikan: “Siyasah syar’iyyah sebagai segala perbuatan yang membawa manusia lebih
dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, sekalipun Rasul tidak
menetapkan dan Allah tidak mewahyukan.
Siyasah yang merupakan hasil pemikiran manusia tersebut harus berlandaskan kepada etika agama dan memperhatikan prinsip-prinsip umum syariah”.
Imam Al Mawardi dalam “Ahkamus Sultaniyyah Wal Walayatud Diniyah” menjelaskan siyasah syar’iyah sebagai:
Siyasah yang merupakan hasil pemikiran manusia tersebut harus berlandaskan kepada etika agama dan memperhatikan prinsip-prinsip umum syariah”.
Imam Al Mawardi dalam “Ahkamus Sultaniyyah Wal Walayatud Diniyah” menjelaskan siyasah syar’iyah sebagai:
“Kewajiban yang dilakukan kepala negara
pasca kenabian dalam rangka menjaga kemurnian agama dan mengatur urusan dunia (hirosatud din wa raiyyatud dunya).”
Asyahid Imam Hasan Al Banna menjelaskan politik adalah,
“Hal memikirkan persoalan internal (yang
mencakup diantaranya: mengurusi persoalan pemerintahan, menjelaskan
fungsi-fungsinya, memerinci hak dan kewajibannya, melakukan pengawasan terhadap
penguasa) dan eksternal umat (yang meliputi diantaranya: memelihara kemerdekaan
dan kebebasan bangsa, mengantarkan bangsanya mencapai tujuan yang diidamkan dan
membebaskan bangsanya dari penindasan dan intervensi pihak lain).”
Yusuf
Qaradhawi dalam Fiqh Daulah
mendefinisikan Siyasah Syar’iyah:
“Fiqh
Islami yang mencakup hubungan individu dengan daulah (negara dan pemerintahan),
atau hubungan pemimpin dengan rakyat, hubungan hakim dengan terdakwa, hubungan
kekuasaan dengan masyarakat yang dalam terminologi modern disebut sistem
ketatanegaraan, sistem keuangan, sistem pemerintahan dan sistem hubungan
internasional.”
Sedangkan definisi Siyasah Syar’iyah menurut Abdul Wahhab Khallaf adalah:
“Pengaturan
urusan pemerintahan kaum Muslimin secara menyeluruh dengan cara mewujudkan
maslahat, mencegah terjadinya kerusakan (mafsadat) melalui batasan-batasan yang
ditetapkan syara’ dan prinsip-prinsip umum Syariah (maqosidhus syari’ah) –kendati
hal itu tidak ada dalam ketetapan nash dan hanya menyandarkan pendapat para
imam mujtahij”. (Asy Siyasah Asyar’iyyah, hal 12-127)
Definisi dan pembahasan ruang lingkup politik Islam (as-siyasah syar’iyyah) dalam pandangan para ulama dan cendekiawan
Islam setidaknya mencakup tiga isu utama, yakni:
1.
Paradigma dan konsep politik dalam Islam, yang secara
garis besar mencakup kewajiban mewujudkan kepemimpinan Islami (khalifah) dan kewajiban menjalankan
Syariah Islam (Hukum Islam).
2.
Regulasi dan ketetapan hukum yang dibuat oleh pemimpin
atau imam dalam rangka menangkal dan membasmi kerusakan serta memecahkan
masalah-masalah yang bersifat spesifik, yang masuk dalam pembahasan fiqh siyasah.
3.
Partisipasi aktif setiap Muslim dalam aktivitas politik
baik dalam rangka mendukung maupun mengawasi kekuasaan.
Adapun dalam ruang
lingkup regulasi dan ketetapan hukum yang dibuat pemimpin atau imam, Ibnu
Taimiyyah membaginya menjadi tiga aspek pembahasan (fiqh siyasah):
1.
Peraturan perundang-undangan negara sebagai pedoman dan
landasan dalam mewujudkan kemaslahatan umat,
2.
Pengaturan dan pengorganisasian dalam mewujudkan kemaslahatan,
3. Pengaturan hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan
kewajiban masing-masing dalam mencapai tujuan negara.
Sumber : Tarbiyah Siyasiyah oleh Ust. Ahmad Dzakirin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar