Jumat, 24 September 2010

Seorang Atheis sejati mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri

Suatu ketika pada tahun 1930-an, Prof. Kohnstamm membuka tahun ajaran baru di Nutseminarium yang dipimpinnya di Amsterdam. Pidato pembukaannya dimulai dengan mengenang kembali seorang guru besar fisika, Paul Ehrenfest, yang baru saja meninggal dengan cara yang sangat mengejutkan para ilmuwan.
Prof. Ehrenfest adalah sahabat yang setia dan dicintai oleh teman-teman seprofesinya. Para pelajar sangat hormat dan menyayangi, bahkan menganggapnya sebagai pemimpin dan bapak dalam bidang yang ia tekuni. Diakhir hidupnya, Efrenfest meninggal dunia dengan cara bunuh diri, setelah terlebih dahulu membunuh anak tunggalnya yang sangat dicintai.
Siapapun akan heran dan terkejut mendengar peristiwa itu.
Paul Ehrenfest adalah seorang yang terpelajar, dan ilmuwan dalam arti sesungguhnya. Ia berasal dari keluarga baik, dan memperoleh pelajaran yang teratur menurut sistem pendidikan terbaik di tempat kelahirannya. Otaknya yang begitu tajam telah menukik menggali rahasia ilmu. Dari seorang yang awalnya menerima ilmu, ia telah sampai kepada tahap pengupas rahasia ilmu pengetahuan yang masih tersembunyi. Hasil penelitiannya dipublikasikan kepada masyarakat dunia, dan juga kepada generasi penerus.
Tidak pernah terdengar bahwa ia melakukan tindakan yang tercela. Lingkungan pergaulannya adalah orang baik-baik. Perangainya pun baik, sehingga disenangi banyak orang.
Kini, mengapa ia melakukan perbuatan yang lebih buas dan ganas dibandingkan seorang penjahat: membunuh anaknya sendiri, dan setelah itu bunuh diri? Tentunya ada satu rahasia kehidupannya yang tidak diketahui orang lain.
Sepucuk surat yang ditinggalkan untuk sahabat dekatnya, Prof. Kohnstamm, menjelaskan bahwa perbuatan yang menewaskan dua jiwa itu bukan suatu perbuatan gegabah dan terburu nafsu. Perbuatan itu telah dipikir lama dan penuh pertimbangan, berasal dari suatu perjuangan rohani yang begitu mendalam, yang tidak dapat diselesaikannya dengan lautan ilmu yang dimiliki.
Dari surat-suratnya tersingkaplah bahwa Paul Ehrenfest telah kehilangan ideal, kehilangan tujuan hidup.
Didikan yang diterima semenjak kecil dan pergaulannya dengan orang di sekelilingnya, telah begitu membekas dalam jiwanya: “Bahwa pokok dan tujuan hidup yang sebenarnya adalah demi ilmu pengetahuan, tidak ada yang lain”.
Segenap tenaganya telah dikorbankan, dan seluruh cita-citanya telah ditumpahkan untuk ilmu pengetahuan, hingga berhasil sampai ke tingkat tertinggi.
  • “Tidak ada yang lebih baik dari ilmu pengetahuan. Tidak ada yang tersembunyi di belakang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan berada di atas segalanya!”

Tanpa disadari, ternyata masih ada suatu kebutuhan rohani yang tidak dapat dipuaskan dengan ilmu pengetahuan itu. Semakin lama ia mendalami ilmu, rasanya semakin kehilangan tempat berpijak. Apa yang kemarin benar, sekarang bisa berubah. Apa yang sekarang betul, besok bisa salah. Demikianlah ilmu pengetahuan. Rohaninya dahaga pada suatu tempat berpegang yang kokoh, yang absolut, yang mutlak kebenarannya. Tempat menambatkan sauh bila dilanda alun dan diterjang gelombang kehidupan. Tempat bernaung yang teduh bila diterpa pancaroba rohani. Semua itu mungkin diperolehnya dengan puluhan dalil semata-mata, beserta ratusan aksioma dan hipotesa dalam ilmu pengetahuan. Ehrenfest mempunyai seorang anak yang begitu dicintainya. Ia berharap bahwa kelak anak inilah yang akan meneruskan pekerjaannya. Menyambung upayanya selama ini, yang pada suatu saat tentu akan berakhir. Anaknya dicoba dididik dengan pendidikan yang paling sempurna. Maklum anak seorang profesor. Akan tetapi kenyataannya, anak itu tidak sempurna otaknya. Sebagai seorang profesor, sudah barang tentu tidak akan membiarkan keadaan demikian berlarut terus. Uangnya cukup untuk membayar dokter, sementara pada waktu itu ilmu kedokteran sudah cukup maju. Andaikan tidak ada yang dekat, yang jauh pun tidak menjadi masalah. Namun semua itu tidak membawa hasil. Kiranya di saat yang demikian muncul kemasgulan yang begitu berat untuk ditanggung. Timbullah keputusasaan yang menghancurkan keyakinan diri. Hatinya iri melihat orang sekelilingnya, yang senantiasa aman dan tenang. Ingin dirinya seperti itu, mempunyai tempat bergantung. Bagi Ehrenfest, hal ini tidak dapat dicapainya. Untuk mengungkapkan kegalauan hatinya pada waktu itu, ditulisnya sebuah surat yang ditunjukan kepada Prof. Kohnstamm:
  • “Yang tidak ada pada diri saya adalah kepercayaan kepada Tuhan. Agama adalah perlu. Barangsiapa yang tidak mampu memiliki agama, ia mungkin binasa karena itu. Yakni bila tidak bisa beragama”.

Ruhnya ingin sekali menyembah kepada Tuhan, akan tetapi tidak diperolehnya. Ia ingin dan rindu untuk mempunyai agama, akan tetapi tidak memperoleh jalan. Ini menjadi suatu azab yang tak dapat ditanggungnya. Yang sangat mengharukan para sahabat yang ditinggalkannya adalah do’anya yang terakhir:
  • “Mudah-mudahan Tuhan akan menolong kamu, yang sekarang ini saya sangat lukai”.

Demikianlah gambaran batin seseorang yang pada lahirnya boleh dikatakan ateis. Seseorang yang pada hakikatnya sangat rindu mempunyai Tuhan, namun tidak diusahakan selama hidupnya. Seolah-olah dengan bunuh diri ia hendak mencari Tuhan di seberang kubur di akhirat sana. Dan agar terlepas dari tekanan rohani, yang dirasanya sangat berat menghimpit di dunia ini. Kita yakin bahwa dimanapun kita berada, tidak mustahil terhadap adanya perjuangan batin seperti yang diderita Prof. Ehrenfest. Yakin terhadap kerusakan batin yang berpangkal dari kekurangan pimpinan rohani semenjak kecil. Ini akibat dari tertinggalnya memberikan makanan rohani dalam didikan, sementara terlau condong kepada pendidikan yang hanya bersifat materi semata. Pendidikan yang demikian pada hakikatnya mengganti alat dengan tujuan. Materi adalah alat, bukan tujuan hidup. Mengenal Illahi, mentauhidkanNya (mengesankanNya), meyakini dan menyerahkan diri kepadaNya, tidak dapat harus menjadi dasar bagi pendidikan seorang anak. Meninggalkan dasar ini berarti melakukan kelalaian yang fatal. Yang tidak kalah besar bahayanya bila dibandingkan dengan berkhianat kepada anak. Walaupun: makan dan minum sudah disempurnakan, pakaian dan perhiasan telah dicukupkan, dan ilmu pengetahuan sudah dilengkapkan untuk bekal hidupnya. Semua ini tidak ada artinya sama sekali sekiranya ketinggalan memberikan dasar ke-ilahi-ah. Marilah kita perhatikan wasiat monumental seorang bapak kepada anaknya yang sedang ia didik, yang diabadikan Allah SWT dalam surat Luqman ayat 13:
  • “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kexaliman yang besar”.
Demikian Luqman memberi contoh. Demikianlah Al Qur’anus-syarif memberi isyarat kepada tiap-tiap orang tua. Memberi tahu apa yang musti ditanamkan dulu di dalam dada seorang anak: yakni hubungan anak dengan Penciptanya, supayaada tali Allah tempat ia bergantung nanti. Hubungan dengan manusia dan sesama makhluk dapat diadakan kapan saja waktunya. Akan tetapi hubungan dengan Ilahi tidaklah boleh ditunda setelah dewasa atau berumur lanjut. Dalam surat Ali ‘Imran ayat 112 diisyaratkan:
  • “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia”.
Demikian juga dalam surat Thaha ayat 124:
  • “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginyalah kehidupan yang sempit”.
Maka berbahagialah seorang anak apabila ia mempunyai orang tua yang tahu bagaimana menanamkan tauhid dalam sanubarinya semenjak kecil. Akan terpeliharalah ia dari malapetaka, karena senantiasa ada hubungan dengan Sang Pencipta yang menjadikannya, serta mengutamakan mu’amalah dengan sesama makhluk. Itulah dua syarat yang tak dapat tidak harus dipakai supaya mendapat keselamatan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin. Marilah kita telusuri sebentar hasil pembinaan Rasulullah SAW, yang membekas pada pribadi anggota masyarakat. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Dinar, bahwa pada suatu hari dia berjalan bersama Khalifah Umar bin Khattab r.a. dari Madinah menuju Makkah. Di tengah perjalanan mereka berjumpa denganseorang anak gembala. Bersama kambing-kambingnya yang sangat banyak, anak itu sedang berjalan turun dari tempat gembalaan. Khalifah ingin menguji dimana anak gembala ini bersifat amanah, dapat dipercaya. Antara keduanya terjadi percakapan sebagai berikut:
  • Khalifah : Wahai gembala, juallah kepadaku seekor anak kambing dari ternakmu ini.Gembala : Aku ini hanya seorang budak.
    Khalifah : Katakan sajalah kepada tuanmu nanti, bahwa anak kambing itu telah dimakan serigala.
    Gembala : Fa-ainallah? Kalau begitu di mana Allah?
Sangat pendek pertanyaannya: ‘di mana Allah? Bagi Khalifah Umar dan jamaah kaum Muslimin pada waktu itu umumnya, pertanyaan sependek ini sudah cukup untuk menggugah qalbu dan meremangkan bulu badan. Cukup untuk memancing ingatan mereka kepada peringatan Allah SWT:
  • “…. Dia Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS Al Hadiid, 4)
  • “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat dengannya daripada urat lehernya”. (QS Qaaf, 16)
Seakan-akan anak gembala itu berkata:
  • “Yang memiliki ternak ini memang tuan saya, dan bisa saja saya menipunya. Dia tidak melihat apa yang saya lakukan di sini. Tetapi, bagaimana saya akan menipu Allah? Bukankah Allah melihat apa-apa yang saya perbuat, malah Dia mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati seseorang, dimanapun dia berada”.
Tidaklah heran apabila di waktu itu Khalifah Umar bin Khattab r.a. mencucurkan airmatanya karena terharu. Kemudian beliau pergi bersama anak gembala menjumpai yang mempunyai ternak. Ditebusnya kemerdekaan anak gembala itu dan kemudian berkata:
  • “Kalimah fa-ainallah telah memerdekakan kamu di dunia ini, semoga kalimat itu akan memerdekakan kamu di akhirat kelak”.
Demikianlah hasil dari pembinaan pribadi. Hanya ada satu jalan untuk menyuburkan dan memperkuat qalbu. Yakni dengan mendekatkan jiwa kepada Khaliq, Allah Sang Pencipta. Di sini terletak fungsi ibadah kepada Allah. Menyembah Allah SWT berarti memusatkan penyembahan kepada Allah SWT semata, dengan menjalani dan mengatur segala aspek dan segi kehidupan di dunia ini, baik lahir maupun batin, sesuai dengan kehendak Ilahi. Dengan kata lain, semua kegiatan seorang hamba Allah, baik yang berupa ibadah terhadap Ilahi ataupun yang berupa muamalah (amal perbuatan terhadap sesama manusia), dilakukan dalam rangka pengabdiannya kepada Allah SWT. Dengan niat hendak mencapai keridhaan Allah semata. Dengan kegiatan yang demikianlah semua bakat dan potensi yang ada dalam fitrah manusia (jasmani dan rohani) dapat berkembang maju menurut fungsinya masing-masing. Berkembang dalam keseimbangan, dari tingkat ke tingkat yang lebih tinggi. Menyembah kepada Allah SWT bukan berarti meninggalkan kehidupan duniawi. Sebab martabat manusia di dunia adalah khalifatun fil ardhi, yakni wakil Allah di dunia.
  • “Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kabahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS Al- Qashash; 77)
Wahyu berkata: semua karunia pemberian Sang Pencipta di dunia ini jangan diabaikan, hidup di dunia ini jangan dilupakan. Semua karunia Ilahi berupa harta benda dan berbagai kesenangan itu memang untuk dinikmati. Tetapi tidak untuk dijadikan tujuan hidup. Semua karunia Ilahi itu adalah untuk dinikmati, untuk disyukuri, dan untuk dipakai guna melakukan amal kebaikan, amal shaleh terhadap sesama makhluk. Tetapi kehidupan duniawi bukanlah tujuan. Demikian pula hasil-hasil dari kegiatan di bumi ini, bukanlah tujuan yang hakiki. Tujuan hakiki adalah keridhaan Ilahi. Keridhaan Ilahi yang memungkinkan tercapainya hidup yang sebenar hidup. Kehidupan yang lebih tinggi mutunya dari kehidupan duniawi. Kehidupan immaterial sebagai kelabjutan dari kehidupan materiil di bumi. Kehidupan ukhrawi yang puncak kebahagiaannya terletak dalam pertemuan dengan Allah SWT.
  • “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui”. (QS Al-Ankabuut, 64)
Karunia Ilahi yang diperoleh di dunia seharusnyalah digunakan untuk mencapai kejayaan hidup akhirat. Hidup duniawi adalah tempat bertolak untuk meraih kehidupan dengan taraf lebih tinggi di akhirat, hidup yang sebenar hidup.
  • “Wahai manusia, perhambakan dirimu kepada Tuhanmu yang telah menjadikan kamu dan orang-orang yang sebelumnya, agar kamu bertaqwa”. (Al-Baqoroh, 21)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts