Sabtu, 15 Mei 2010

Pahala Sabar Tidak Terhingga



Pahala Sabar Tidak Terhingga

Qul ya ‘ibaadiyalladziina aamanuuttaquu rabbakum. Lilladziina ahsanuu fii haadzihil hayaatid dunyaa hasanah. Wa ardhullahi waasi’ah. Innamaa yufawwasshaabiruuna ajrahum bighairi hisaab.
Dalam ayat di  atas, Allah Subhanahu Wa Ta’ala merangsang bahkan memerintahkan kita untuk menjadi orang-orang yang mencapai manzilah ubudiyah kamilah (tingkatan penghambaan yang sempurna).
Rangsangan tersebut berupa penggunaan kata panggilan yang menunjukkan keakraban dan kedekatan hubungan antara kita dengan Allah dan penyebutan pahala orang yang sabar itu tidak terhingga.
Untuk mencapai manzilah ubudiyah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kita untuk menapaki anak tangga manzilah ubudiyah dengan penuh kesabaran. Anak tangga manzilah ubudiyah tersebut adalah iman, taqwa dan ihsan.
Ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala memanggil mukhotob (audiens) dengan menggunakan kata “abd” berarti Allah ingin menggambarkan keakraban dan kedekatan hubungan antara makhluk dengan Kholik-nya.
Kalau kita perhatikan ayat-ayat lain yang menggambarkan keakraban hubungan antara Allah dengan para Nabi, Allah selalu menggunakan kata “abd”. Sebab manzilah ulya (kedudukan tertinggi) bagi makhluk Allah adalah manzilah “ubudiyah”. Sebagaimana ketika Allah mengisahkan peristiwa isra’-mi’raj yang dijalani Rasulullah Salallahu Alaihi wasallam.
Dalam pengisahan tersebut, Allah menggunakan kata “abd” (subhanalladzi asro bi’ abdihi). Demikian pula ketika Allah mengambarkan kedekatan dan keakraban dengan Zakaria  dalam surat Ali Imron, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menggnakan kata ‘abd (dzikru rahmati rabbika ‘abdahu zakariya). Dengan demikian ayat di atas juga menunjukkan keakraban dan kedekatan hubungan antara Allah Al-Kholiq dengan hamba-Nya yang menjadi audien dalam ayat tersebut.
Orang yang mendapat khitob dalam ayat di atas adalah orang-orang yang diharapkan senantiasa dalam posisi ubudiyah dan senantiasa meningkatkan kualitas ubudiyahnya: (qul yaa ‘ibadiyalladziina aamanuu ittaquu rabbakum).
Untuk mencapai manzilah ubudiyah, Allah memerintahkan agar kita senantiasa melakukan hal-hal berikut :
1.     Selalu meningkatkan keimanan, dengan meningkatkan pendalaman aqidah kita. Karena hal itu merupakan muntholaq hidup kita, muntholaq langkah-langkah dakwah kita, bahkan langkah-langkah seluruh sisi kehidupan kita.
2.     Selalu meningkatkan ketaqwaan dengan cara meningkatkan keimanan. Dalam Al-Qur’an banyak disebutkan bahwa untuk mencapai ketaqwaan harus dengan amal, dengan jihad, dengan mujahadah dan dengan berjuang. Seluruh ayat yang memerintahkan untuk beramal ujungnya selalu diakhiri dengan la’allakum tattakun (..mudah-mudah kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa). Ketika Allah memanggil kita denagn panggilan: (qul yaa’ ibadiyalladziina aamanuu ittaquu rabbakum), artinya kita diminta meningkatkan ketaqwaan kita dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas amal. Kita dituntut mengakselerasikan amal kita sehingga kita mencapai  manzilah at-taqwa (tingkatan taqwa).
3.     Senantiasa bekerja dengan ihsan. Konsekuensi dari kualitas amal yang menuju ketaqwaan adalah melahirkan amal amal yang ihsan. Karenanya setelah memerintahkan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, ayat dalam surat Az-Zumar diatas menyebutkan (lilladziina ahsanuu fi hadzihiddunya hasanah). Ihsan dalam beramal akan dapat dicapai dengan:
·        Ikhlashunniyah (ikhlas dalam niat);
·        Jaudatul ada’ (baik dalam pelaksanaan);
·        Itqonul amal (tekun dalam beramal).
Jika kita berhasil berbuat ihsan di dunia ini kita menjadi orang beruntung. Ayat di atas juga menegaskan bahwa peluang berbuat ihsan itu hanya ada di dunia. Kalau di akhirat kita akan menjadi objek ihsan dari Allah. Allah menjanjikan kalau kita mau berbuat ihsan dalam bidang apa pun; Tarbiyah, dakwah, siyasah, ta’lim, iqtishod, fann (seni) dan yang lainnya, kita akan mendapat hasanah, baik hasanah di dunia dan hasanah di akhirat, artinya hasanah dalam segala bidang.
Kemudian Allah menegaskan, bumi Allah itu sangat luas (wa ardhullahi wasi’ah). Ayat ini menegaskan bahwa lahan perjuangan kita seluas bumi Allah ini (wa ardhullahi wasi’ah). Sehingga rasa tanggung jawab dakwah kita tidak terbatas pada negeri atau daerah yang kita tempati, kita ikut memikul beban tanggung jawab dakwah di berbagai belahan bumi. Karenanya perlu kerja keras dengan ihsan dan sabar.
Kemudian ayat ini ditutup dengan (innamaa yuwaffasshabiruuna ajrahum bighoiri hissab). Seungguhnya orang-orang yang sabar itu akan mendapatkan pahalanya tanpa batas. Pahala yang tidak terhitung dan tidak terkalkulasi. Para ahli tafsir mengatakan bahwa setiap amal dapat diketahui pahalanya, karena rumusannya jelas, satu dibanding sepuluh atau satu dibanding seratus, seperti rumusan dalam ayat tentang sunbulah. 
Bahkan ada rumusan lain yang lebih besar, rumusan tersebut adalah apa yang diungkapkan oleh Abu Bakar dalam percakapan dengan Usamah bin Zaid. Dalam percakapan tersebut ditegaskan bahwa bila seorang mujahid berada dalam perjalanan jihad, setiap kali ia mengangkat kaki ke atas, derajat akan diangkat 700 derajat, dan setiap diturunkan akan dihapuskan 700 dosa dan kesalahan. Jadi, semuanya tetap bisa dihitung.
Saat ini orang-orang jepang sudah menemukan alat untuk menghitung langkah seseorang dalam sehari. Berapapun banyaknya langkah dan amal seseorang, semuanya masih bisa dihitung. Makanya menurut hasil tafsir hanya pahala orang-orang yang sabar yang tidak dapat dihitung. Bahkan dalam ayat lain disebutkan pahala orang sabar itu (ka maa-in munhamir). Bagaikan air yang mengalir deras, bagaikan gelombang air bah. Istilah (ka maa-in munhamir) disebutkan dalam kisah banjir nabi Nuh.
Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang sabar. Dalam perjalanan  dakwah banyak da’i dan da’iyah mendapatkan berbagai macam himpitan-himpitan. Namun, mereka mampu bersabar dalam menghadapi himpitan-himpitan itu semua. Ketika kita bersabar insya Allah akan mendapatkan limpahan pahala yang tak terhitung (ka maa-in munhamir). Dan itu didapatkan di dunia dan akhirat.
Doktrin-doktrin robbani seperti ini harus tertanam dalam lubuk hati kita. Tertanam bersama dengan kedalaman iman kita. Tanpa itu kita gampang frustasi. Dalam segala medanl dakwah, kita harus memiliki daya tahan dan kesabaran, agar dapat memikul beban dan tanggung jawab. Daya tahan dan kesabaran tersebut yang harus kita perkokoh.
Bila kita memiliki daya tahan yang kuat dan kesabaran ulet, insya Allah akan dipenuhi pahalanya. Kata (yuwaffa) adalah ta’kid (penegasan) dari Allah dan itu menunjukkan Alah akan menjamin pemenuhan janjinya. Selain itu Allah menggunakan (innamaa) sebagai adatul hasr (huruf pengikat/pengurung), artinya sesungguhnya satu-satunya amal yang akan mendapat limpahan pahala tak terhitung “hanyalah” sabar, dan pahala sabar bagaikan air bah (ka maa-in munhamir). Ruang lingkup amal yang mendapatkan pahala tak terbatas hanyalah sabar. Allah tidak akan menyalahi janjinnya.
Nilai-nilai seperti ini dalam situasi apapun harus selalu hidup dalam hati. Tanpa ini kita akan mudah frustasi, gampang mutung, gampang jengkel, gampang saling menyalahkan. Sebuah amal yang besar tidak bisa dihitung hanya dalam satu episode. Kita ingin beramal dalam jutaan episode, karena belum bisa kita nilai dalam satu atau dua episode bahwa amal kita gagal. Memang dalam satu atau dua episode sering kali ada hal-hal yang menjengkelkan.
Yang perlu diketahui bahwa hal-hal yang menjengkelkan itu adalah ujian kesabaran, bila kita sabar akan ditepati pahalanya tanpa dapat dihisab. Karenanya jangan sampai terjebak dengan episode-episode tertentu dimana kemungkinan langkah kita memang lemah atau agak meleset sedikit. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts