Sabtu, 19 Juli 2014

Perjalanan Jonru, Terlahir Kristen Kini Bersama Tarbiyah


Perkenalkan, Saya Jonru
Pemilu 2014 menyebabkan fan page Jonru diserbu banyak likers baru. Dalam sehari, penambahannya bisa mencapai 5.000 hingga 7.000-an. Bahkan pernah di atas angka 8.000. Ini benar-benar di luar perkiraan saya, sama sekali tak pernah menduga.
Banyak likers baru itu yang sebenarnya belum mengenal saya. Mereka mungkin hanya tertarik membaca posting-posting seputar capres yang dimuat di sini. Bahkan banyak yang mengira Jonru bukan nama orang. Mungkin merek produk apa, gitu, hehehe....
Karena banyak yang belum kenal itulah, tak ada salahnya saya memperkenalkan diri. Seperti kata peribahasa, "Tak kenal maka tak sayang."
* * *
Jonru adalah nama pena saya. Dan karena saya orang Karo (sering juga disebut Batak Karo), maka tentunya saya punya marga: Ginting. Makanya di sejumlah social media, saya pakai nama Jonru Ginting.
Nama asli saya adalah Jon Riah Ukur Ginting. Entah kenapa, saya kurang pede dengan nama ini. Merasa lebih sreg dengan nama Jonru.
Saya lahir dari orang tua yang ketika itu masih beragama Kristen Protestan. Sebagai orang Karo yang mayoritas beragama Kristen, banyak saudara saya yang beragama Kristen atau Katholik. Bahkan ketika saya kecil, setiap hari Natal kami pulang kampung ke rumah nenek di kabupaten Aceh Tenggara.

Hm... teman-teman mungkin heran. Hari Natal kok pulang ke Aceh?
Ya, Aceh Tenggara termasuk daerah unik. Di sana banyak orang Kristen bermukim. Gereja dan masjid bertebaran di mana-mana secara merata.
Kenapa bisa seperti itu? Karena di zaman penjajahan dulu, banyak warga Sumatera Utara (beragama Kristen) yang mengungsi ke Aceh Tenggara, dan hingga sekarang mereka masih menetap di sana bersama para keturunan mereka.
Mendiang nenek saya yang tinggal di Aceh Tenggara memang beragama Kristen. Termasuk paman saya (adik kandung ibu saya), sampai sekarang masih Kristen.
Tahu 1975, kami sekeluarga masuk Islam. Maksudnya, semua satu keluarga, yakni kedua orang tua kami dan semua anak mereka, termasuk saya. Ketika itu saya masih berusia 5 tahun, jadi masuk Islam cuma ikut ortu. Kan belum ngerti apa-apa
Hampir tak ada teman yang tahu, bahwa ketika lahir, saya diberi nama yang cukup panjang, yakni Belnatal Jon Riah Ukur Ginting. Nama "Belnatal" diberikan karena saat itu suster yang membantu kelahiran saya sedang merayakan Natal.

Dan setelah masuk Islam, nama saya dipersingkat menjadi Jon Riah Ukur Ginting.
Namun ketika tamat SD, guru saya lupa mencantumkan marga Ginting pada ijazah. Bahkan unsur "Jon" dan "Riah" digabung tanpa spasi. Sehingga secara resmi nama saya di dokumen-dokumen hukum adalah Jonriah Ukur.
Sekadar info: Riah Ukur sebenarnya nama yang lazim diberikan kepada anak perempuan, bukan laki=laki. Riah artinya gembira, ukur artinya hati. Jadi riah ukur adalah hati yang gembira. Kontraksi dari lagu "Hati Yang Luka" Betharia Sonatha, hehehe...
Kenapa saya diberi nama Riah Ukur? Karena ketika saya masih dalam kandungan, nenek saya mimpi didatangi oleh seorang pria misterius yang berkata, "Jika cucumu lahir, beri dia nama Riah Ukur. Kelak dia akan jadi bla.. bla... bla..." (Sengaja disensor, agar tidak jadi bahan omongan, hehehe...)

Kenapa sekarang saya dikenal sebagai JONRU?
Ini berawal ketika SMA, saat guru di sekolah mengharuskan semua siswa pakai badge nama. Saya yang merasa kurang pede dengan nama asli, lantas menyingkat nama di badge menjadi Jon R. U.
Hingga tamat kuliah di Universitas Diponegoro (Semarang), saya masih dikenal sebagai Jon Riah Ukur. Tak ada orang yang memanggil saya Jonru.
Barulah setelah masuk dunia kerja (tahun 2000), saya memperkenalkan diri kepada semua orang sebagai Jonru. Jadi boleh dibilang, kebanyakan orang yang mengenal saya sejak tahun 2000, tidak tahu sama sekali nama asli saya
* * *
Hingga tamat SMA, boleh dibilang saya masih tergolong Islam KTP. Hampir tak pernah shalat.
Alhamdulillah, sejak kuliah saya sedikit demi sedikit mulai menekuni Islam. Mulai memperbaiki ibadah. Dan tahun 2003 mulai ikut tarbiyah. Saya merasa bersyukur karena banyak berkenalan dengan para aktivis dakwah, orang-orang yang hidupnya dekat dengan agama.
Ketika lahir, saya tinggal di Kabanjahe, Sumatera Utara. Lalu tahun 1978 pindah ke Binjai (Sumatera Utara juga), hingga lulus SMA. Lantas saya kuliah di Undip Semarang. Sempat tinggal di Bandung juga, ikut kakak yang menetap di sana. Dan sejak tahun 2000 hingga sekarang, saya menetap di Jakarta.
Jika pulang kampung ke Sumatera Utara, saya banyak berinteraksi dengan saudara-saudara kami yang beragama nonmuslim. Kami bergaul akrab, penuh kekeluargaan, karena pada dasarnya kami memang masih bersaudara (hubungan darah).
Bahkan, ada salah seorang saudara saya yang setiap perayaan Tahun Baru selalu minta tolong tetangganya yang Muslim untuk menyembelih ayam. "Agar saudara kami yang Islam bisa memakannya," ujarnya.
Sejak kecil, saya belajar tentang toleransi langsung dari pengalaman hidup sehari-hari. Bukan dari teori-teori.
Jadi jika saya sering memposting artikel yang menurut teman-teman berbau SARA, lalu menuduh saya anti agama lain, sejujurnya saya merasa lucu. Karena di kehidupan sehari-hari, saya justru banyak bergaul dengan para kerabat nonmuslim.
* * *
Dulu, saya sempat menjadi karyawan selama 7 tahun. Lantas di awal tahun 2007 saya berhenti ngantor dan memulai hidup baru sebagai entrepreneur. Saya mendirikan Sekolah Menulis Online (SMO), yang membuat saya dijuluki "pelopor kursus menulis via internet di Indonesia". Kini SMO dikelola oleh seorang teman, dan saya fokus mengelola Dapur Buku, sebuah layanan penerbitan buku self publishing.

Saya sudah menerbitkan sejumlah buku, yakni:
BUKU PERSONAL (ditulis sendiri):
1. Novel "Cinta Tak Terlerai" (DAR! Mizan, 2005)
2. Kumpulan cerpen "Cowok di Seberang Jendela" (Lingkar Pena Publishing House, 2005)
3. Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat (Dapur Buku)
4. Menerbitkan Buku Itu Gampang! (Tiga Serangkai, 2008)
5. Novel "Cinta Tak Sempurna" (Dapur Buku)

BUKU yang ditulis bersama penulis-penulis lain, dan saya sebagai penyusunnya:
1. Sekuler Loe Gue End (Dapur Buku)
2. Sembuh dan Sukses dengan Terapi Menulis (Dapur Buku)
3. Pancasila Apa Kabar? (Dapur Buku)

Selain itu, sejumlah naskah saya juga dimuat di beberapa buku antalogi. Satu di antaranya adalah cerpen "Sebuah Kota Bernama Sepi" yang dimuat di buku "Kupu-kupu dan Tambuli", kerjasama antara Forum Lingkar Pena dengan Dewan Kesenian Jakarta.
* * *
Selain sebagai penulis dan pebisnis, saat ini saya juga rutin mengisi pelatihan penulisan di berbagai kota di Indonesia, termasuk di sejumlah perusahaan besar seperti Bank Indonesia, Kraft Food, PT Pos Indonesia, dan beberapa perusahaan lainnya
* * *
Nah, semoga perkenalan ini bisa menambah keakraban di antara kita. Salam ukhuwah!
Jakarta, 19 Juli 2014
Ingin menerbitkan buku? Yuk gabung di DapurBuku.com
Sumber :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts