Jauh sebelum pemilu berlangsung, juga saat-saat menjelang hari H-nya, ada sebagian kader yang berbicara dengan nada optimisme yang sangat tinggi-bahkan, menurut sebagian kader lainnya- dapat dikatakan over optimis.
Sebenarnya, optimism atau tafa’ul atau raja’ merupakan satu sifat yang harus dimilki oleh seorang mukmin. Namun, perlu diingat bahwa sifat tafa’ul harus selalu diimbangi dengan rasa ‘adamul amni min makrillah (tidak merasa aman dari makar Allah SWT) dan khauf (takut). Bahkan salah satu ciri seorang mukmin yang yusari’una fil khairat wahnum laha sabiqun-bersegara dalam kebaikan dan menang dalam adu cepat meraih kebaikan itu- adalah wa qulubuhum wa jilatun- hati mereka senantiasa takut dan ngeri jika kebaikan yang dilakukannya tidak diterima Allah SWT.
Mungkin karena terlalu percaya diri, maka sebagian kader jarang sekali mengucapkan ‘insya Allah’ . Sangat urgen bagi seorang mukmin, bahkan bisa dikatakan dharuri. Artinya, kita akan hancur kalau tidak mengucapkan kata “insya Allah”. Seharusnya ucapan insyaAllah kita jadikan karakter, budaya, dan gaya berbicara yang membedakan kita dengan yang lainnya.
Berikut kisah yang menggambarkan betapa urgennya ucapan inyaAllah bagi seorang muslim:
KISAH PERTAMA:
Di puncak pertarungan pemikiran antar Rasulullah saw engan kafir Quraisy, orang-orang Quraisy mengirimkan dua orang cendekiawannya sebagai utusan khusus kepada orang-orang Yahudi di Madinah. Tujuannya, agar orang-orang Quraisy mendapatkan dukungan ilmu baru dalam menghadapi Rasulullah saw, yakni An-Nadhar bin Al Harist dan Uqabah bin Abi Mu’ith. Orang-orang Yahudi membekali dua orang cendekiawan itu dengan 3 pertanyaan yang harus mereka ajukan kepada Rasulullah saw. Pertanyaanya adalah:
a. Bagaimana kisah Ashabul Kahfi?
b. Bagaimana kisah Dzul Qarnain?
c. Apa yang dimaksud engan ruh?
Mendapatkan 3 pertanyaan seperti itu Rasulullah saw bersabda, “Besok akan saya ceritakan dan saya jawab.” Akan tetapi beliau lupa mengucapkan insya Allah. Akibatnya, wahyu yang biasanya turun kepada beliau setiap kali menghadapi masalah, terhenti selama lima belas hari. Sedangkan orang-orang Qoraisy setiap hari selalu datang menagih janji Rasulullah saw.
Rasulullah saw sangat sedih dengan kejadian itu. Barulah setelah 25 hari, Allah swt menurunkan surat Al Kahfi yang berisi jawaban atas dua pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad saw, sedangkan pertanyaan yang ketiga disebutkan Allah Swt dalam surat Al Isra’ ayat 58.
Pada penghujung akhir kisah ashabul Kahfi, Allah swt berfirman:
”Jangalah kamu sekali-sekali mengatakan, “Sesungguhnya saya akan melakukan hal ini besok,’kecuali dengan mengatakan insya Allah” (Q.S Al Kahfi: 23-24)
Mungkin ada orang yang berkata, “Bukankah Nabi Muhammad saw telah diampuni dosanya baik yang telah lalu dan yang akan datang? Lalu, mengapa kesalahan kecil dan sepele ini mendapatkan hukuman sedemikian rupa? Bukankah kebaikan beliau selama ini bisa menutup kesalahan kecil atau sepele ini?”.
Jawabannya adalah:
Agar hal ini menjadi durus wa ‘ibrar (palajaran dan ibrah) bagi umat-nya. Kalau orang selevel Rasulullah saw saja dihukum sedemikian rupa, bagaimana dengan kita yang penuh dosa?
Ada ungkapan yang mengatakan, “Hasanatul Abrar, sayyiatul muqarrabiin.” Artinya, ada hal-hal tertentu bagi orang-orang abrar (orang baik-baik) disebut hasanat (kebaikan), namun bagi orang-orang yang berkelas muqarrab (yang dekat dengan Allah dan menjadi kekasih-Nya) akan dinilai sebagai sayyiiat(keburukan)
KISAH KEDUA
Pada suatu hari, ketika Nabi Musa a.s sedang mengajar kaumnya, timbul sebuah pertanyaan, “Siapakah yang paling alim di antara kalian?” Nabi Musa a.s menjawab,”Saya.” Atas jawaban itu, Allah swt menegur dan memberitahukan kepadanya bahwa ada seorang hamba Allah yang lebih alim.
Singkat cerita, Nabi Musa As ingin bertemu dan berguru kepada hamba Allah itu. Hamba Allah itu menerima lamaran Nabi Musa a.s, dengan syarat; Nabi Musa as tidak boleh bertanya, berkomentar, apalagi mengingkari apa yang akan dilihatnya sebelum hal itu dijelaskan kepadanya. Nabi Musa as menerima persyaratan itu.
Hamba Allah itu, yang tak lain adalah Nabi Khidir as, berkata, “Akan tetapi kamu tidak akan mampu bersabar.”
Spontan Nabi Musa as menjawab, “Insya Allah kamu akan mendapati diriku sebagai orang yang sabar”
Dalam jawaban ini, Nabi Musa a.s mengucapkan insya Allah. Akan tetapi jawaban itu menunjukkan bahwa Nabi Musa as kurang tawadhu’. Mengapa? Sebab, ia mrngatakan, “…saya sebagai orang yang sabar”
Beliau tidak akan mengatakan, “…saya sebagai bagian dari orang-orang yang bersabar.” Artinya, jawaban nabi Musa as dapat dikonotasikan seakan-akan di dunia tidak ada orang yang sabar selain dirinya.
Karena sedikit kurang tawadhu, terbuktilah bahwa Nabi Mudsa as tidak bisa sabar dalam berguru kepada Nabi Khidir as berbuat sesuatu, Nabi Musa as selalu berkomentar, bahkan mengingkarinya (kisah lengkapnya bisa bisa dilihat di Q.S Al Kahfi: 60-82)
Jawaban Nabiyullah Musa as berbeda dengan jawaban Nabiyullah Ismail as ketika ayahandanya (Nabiyullah Ibrahim as) berkata kepada sang putra yang dicinta itu,”Hai anakku, sesungguhnya, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelih. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”
Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Q.S Ash-Shaffat:102)
Jawaban Nabiyullah Ismail ini mengandung makna bahwa, di dunia ini banyak sekali orang yang sabar dan ia insya Allah termasuk salah seorang dari mereka. Kemudian, terbuktilah nahwa Nabi Ismail as mampu bersabar.
Semoga Allah Swt. Menjadikan kita semua sebagai hamba-hambanya yang selalu menegmbalikan sesuatu kepada masyi’ah Allah swt, menjadi manusia-manusia yang tawadhu’ dan sabar. Amin!
Sumber :
http://ainicahayamata.wordpress.com/2009/08/06/urgensi-insya-allah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar