alhikmah.com
- Dalam kehidupan bersama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat maupun bangsa, musyawarah merupakan sesuatu yang harus
dilakukan.
Hal ini karena dalam kehidupan berjamaah, ada banyak kepentingan, kebutuhan maupun persoalan yang harus dihadapi dan diatasi secara bersama-sama agar bisa terjalin kerjasama yang baik.
Dalam proses musyawarah itulah, harus berlangsung apa yang disebut dengan dialog.
Hal ini karena dalam kehidupan berjamaah, ada banyak kepentingan, kebutuhan maupun persoalan yang harus dihadapi dan diatasi secara bersama-sama agar bisa terjalin kerjasama yang baik.
Dalam proses musyawarah itulah, harus berlangsung apa yang disebut dengan dialog.
Secara
harfiyah, syura bermakna menjelaskan, menyatakan, mengajukan dan mengamnbil
sesuatu. Syura adalah menyimpulkan pendapat berdasarkan pandangan antar
kelompok. Kata syura sudah menjadi bahasa Indonesia yang kemudian dikenal
dengan istilah musyawarah. Dalam bahasa Indonesia, musyawarah adalah pembahasan
bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama.
Landasan Hukum Syura
Di dalam
Al-Qur’an, terdapat tiga ayat yang menjelaskan tentang syura. Dari ayat-ayat
ini, dapat kita simpulkan bahwa musyawarah harus kita lakukan dalam tiga aspek.
Pertama, musyawarah terhadap persoalan keluarga, hal ini karena dalam kehidupan keluarga, khususnya antara suami dengan isteri, terdapat hal-hal yang harus disepakati dan diatasi sehingga kehidupan rumah tangga bisa berjalan dengan baik. Allah Swt berfirman yang artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bartaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS 2:233).
Pertama, musyawarah terhadap persoalan keluarga, hal ini karena dalam kehidupan keluarga, khususnya antara suami dengan isteri, terdapat hal-hal yang harus disepakati dan diatasi sehingga kehidupan rumah tangga bisa berjalan dengan baik. Allah Swt berfirman yang artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bartaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS 2:233).
Dari ayat di atas, dapat diambil sebuah
pelajaran bahwa dalam kehidupan keluarga, persoalan yang tidak terlalu besar
saja seperti menyusui harus disepakati melalui proses musyawarah, apalagi
persoalan yang lebih besar dan lebih prinsip dari itu.
Kedua, musyawarah terhadap persoaan-persoalan masyarakat sehingga dengan musyawarah itu masyarakat tidak bisa mengelak dari keharusan berlaku patuh kepada ketentuan yang berlaku, Allah Swt berfirman yang artinya. Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka (QS 42:38).
Ketiga, musyawarah terhadap persoalan politik,
perjuangan, dakwah dan kenegaraan. Karena itu, ketika Rasulullah Saw memimpin
pasukan perang beliau harus bermusyawarah dengan para sahabat yang menjadi
pasukannya, namun pada saat hasil keputusan musyawarah tidak dipatuhi, maka hal
itu tidak boleh membuat seorang pemimpin menjadi emosional, Allah Swt berfirman
yang artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahkan dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS
3:159)
Urgensi Syura Dalam Islam
Dalam pandangan Islam., syura memiliki
kedudukan yang sangat penting. Nilai Penting dari syura antara lain: Pertama,
salah satu prinsip penting dalam ajaran Islam yang sangat ditekanlah Allah Swt,
karena hal ini merupakan bagian yang sangat penting dari ukhuwah Islamiyah dan
ukhuwah merupakan salah satu bukti dari iman.
Kedua, prinsip jalan tengah dari segala
perbedaan pendapat, yakni prinsip keseimbangan antara kehendak individu dengan
kehendak bersama, hal ini bisa kita pahami dalam kaitan kedudukan umat Islam
sebagai umat yang pertengahan, Allah Swt berfirman yang artinya: Dan demikian
(pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar
kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu (QS 2:143).
Kaidah-Kaidah Syura
Di dalam surat Ali Imrah: 159 di atas,
terdapat kaidah syura yang harus kita penuhi ketika kita melakukan musyawarah.
Pertama, berlaku lemah lembut, baik dalam sikap, ucapan maupun perbuatan, bukan
dengan sikap dan kata-kata yang kasar, karena hal itu hanya akan menyebabkan
mereka meninggalkan majelis syura.
Kedua, memberi maaf atas hal-hal buruk yang
dilakukan sebelumnya atau orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental
pemaaf terhadap orang lain karena bisa jadi dalam proses musyawarah itu akan
terjadi hal-hal kurang menyenangkan atas sikap, perkataan atau tindak-tanduk
orang lain terhadap diri kita. Manakala sikap pemaaf ini tidak kita miliki
dalam bermusyawarah, hal itu akan berkembang menjadi pertengkaran secara
emosional dan berujung pada perpecahan yang melemahnya kekuatan jamaah atau
organisasi.
Ketiga, berorientasi pada kebenaran, karena
sesudah musyawarah dilaksanakan, keputusan-keputusan yang telah diambil harus
dijalankan dan semua itu dalam rangka menunjukkan ketaqwaan kepada Allah Swt.
Manakala musyawarah berorientasi pada ketaqwaan dan kebenaran, maka tidak ada
pembicaraan yang dikemukakan sekedar untuk meraih kemenangan dalam perdebatan,
tapi untuk menjalankan nilai-nilai kebenaran.
Keempat, memohon ampun bila melakukan
kesalahan sehingga dalam musyawarah bila seseorang mengemukakan pendapatnya
yang disadari sebagai sesuatu yang salah ia akan mencabut pendapatnya itu
meskipun telah disetujui oleh majelis syura.
Kelima, bertawakkal kepada Allah Swt setelah
musyawarah selesai, bukan malah saling salah menyalahkan ketika ada hal-hal
yang tidak menyenangkan menimpa jamaah atau organisasi.
Kajian Syura Dalam Sirah.
Dalam sirah Nabawiyah (sejarah Nabi), kita
dapati bagaimana Rasulullah Saw bermusyawarah dengan para sahabatnya. Ketika
hendak berhijrah ke Madinah, beliau kumpulkan sahabat-sahabat utama untuk
bermusyawarah guna membicarakan strategi penting perjalanan hijrah. Hasilnya
adalah pembagian tugas dari masing-masing sahabat, misalnya Ali bertugas tidur
di tempat tidur Nabi saw untuk mengelabui orang-orang kafir yang mengepung
rumah Nabi. Sementara Abu Bakar ditugaskan untuk mengatur perjalanan dan
persembunyian Nabi di Gua Tsur selama tiga hari, termasuk mempersiapkan logistik
dan sumber informasi. Adapun Umar bin Khattab mendapat tugas mengalihkan opini
orang-orang kafir seolah-olah Nabi telah berangkat ke Madinah, begitulah
seterusnya strategi hijrah dimusyawarahkan oleh Nabi dengan para sahabatnya
sehingga perjalanan hijrah ke Madinah bisa berjalan dengan baik.
Di samping itu, pada saat hendak berperang,
beliau juga bermusyawarah dalam mengatur strategi perang sehingga para sahabat
bisa menyampaikan usul dan saran, bahkan bila usul dan saran itu memang bagus,
hal itu bisa menjadi keputusan yang disepakati, itulah yang terjadi pada perang
khandak atau perang ahzab. Perang ini menggunakan parit sebagai strateginya
atas usulan Salman Al Farisi, maka digalilah parit sedalam kaki kuda dan
selebar lompatannya.
Hikmah Syura
Manakala syura telah dilaksanakan dengan baik,
ada banyak hikmah yang akan diperoleh bagi kaum muslimin dalam kehidupan
berjamaah. Sekurang-kurangnya, ada lima hikmah yang akan kita peroleh. Pertama,
keputusan yang akan diambil akan lebih sempurna dibanding tanpa musyawarah.
Kedua, masing-masing orang merasa terikat terhadap keputusan musyawarah
sehingga ada rasa memiliki terhadap isi keputusan musyawarah tersebut dan dapat
mempertanggungjawabkannya secara bersama-sama. Ketiga, memperkokoh hubungan
persaudaraan dengan sesama muslim pada umumnya dan anggota dalam jamaah pada
khususnya yang harus saling kuat menguatkan. Dengan demikian, dapat dihindari
terjadinya perpecahan yang diakibatkan tidak dipertemukannya perbedaan
pendapat. Keempat, dapat dihindari terjadinya dominasi mayoritas dan tirani
minoritas, karena dalam musyawarah, hakikat pengambilan keputusan terletak pada
kebenaran, bukan semata-mata pertimbangan banyaknya jumlah yang berpendapat
atau berpihak pada suatu persoalan. Kelima, dapat dihindari adanya hasutan,
fitnah dan adu domba yang dapat memecah belah barisan perjuangan kaum muslimin,
karena musyawarah dapat memperjelas semua persoalan yang dihadapi.
Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita
betapa dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsa sangat penting untuk
dilakukan musyawarah dan masalah-masalah yang berkembang harus didialogkan
sehingga dari dialog bisa dijadikan sebagai pembahasan yang bisa
dimusyawarahkan. wallohu a'lam.
Oleh : Drs. H. Ahmad Yani
Oleh : Drs. H. Ahmad Yani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar