Jumat, 06 April 2012

Melihat Model Sosok Kepemimpinan Islamis Antara Erdogan dan Ahmadinejad




Presiden Iran Ahmadinejad dan Perdana Menteri Recep Tayib Erdogan adalah tokoh popular di dunia Islam. Sepak terjang kedua sosok ini selalu menjadi perhatian internasional. Keduanya memiliki banyak kesamaan sekaligus perbedaan. Persamaannya: keduanya mengawali karirnya sebagai walikota. Ahmadinejad walikota Teheran sedangkan Erdogan adalah walikota Istambul. Lebih dari itu, keduanya eksis dari sebuah gagasan spiritualisasi politik dan negara yang diusung kelompok Islamis. 


Ahmadinejad adalah seorang mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Teheran yang menjadi pengagum Ayatullah Khomeini saat pecah revolusi. Dia tersengat ideologi revolusioner sang Mullah yang mengajak menumbangkan rejim Diktator Shah yang zalim –yang sering disebut Mustakbirin- dukungan Amerika demi menolong golongan lemah (Mustad’afin) dan sempat bergabung dengan kelompok sukarelawan sipil Basiji dalam perang Irak-Iran, 1980. Karena sepak terjangnya tersebut, tuduhan tidak sedang sempat menghampirinya, terlibat langsung dalam penyanderaan staff diplomatik AS pasca Revolusi. Namun tuduhan tersebut akhirnya dimentahkan sendiri oleh CIA.
Ahmadinejad dikenal sebagai individu sederhana, piawai beretorika, keras dalam pendirian namun santun dalam bertutur dan merakyat. Saat menjabat walikota Teheran, dia tidak segan menyapu jalanan kota Teheran. Ketika dicecar mahasiswa karena penampilannya yang ‘ndesani’, dengan bangga menjawab bahwa dirinya adalah pelayan masyarakat. Kederhanaannya tercermin pula dalam pakaian yang dikenakannya dan mobil butut Peugeot keluaran 1977 yang disopirinya sendiri. Konon dia menyumbangkan gajinya sebagai walikota dan menghidupi keluarganya dari gajinya sebagai dosen. Ahmadinejad masuk dalam shortlisted 65 kandidat pemilihan World Mayor.
Tak heran, Ahmadinejad menjadi figur yang sangat populer dimata masyarakat. Belum lagi, APBD kota Teheran yang sepenuhnya didedikasikan bagi pelayanan masyarakat. Saat maju dalam bursa pencalonan Presiden Iran, 2005, dia cukup tampil apa adanya dan minus dukungan finansial. Bahkan untuk kampanye, para pendukungnya harus iuran untuk mengkopi potretnya sedang menyapu jalanan atau didepan rumah sederhana berukuran 170 m persegi. Selebaran stensilan para pendukungnya ternyata memiliki tuah politik. Ahmadinejad secara telak mengalahkan kandidat kelas berat seperti Rafsanjani dan Ali Larijani. Padahal dalam pelbagai survey dan polling, media selalu menempatkannya di nomor butut. Namun ternyata publik Iran memiliki logika politik sendiri dalam memilih calon pemimpinnya. Publik Iran rindu dengan pemimpin yang bersahaja, panutan dan pro-rakyat. Walhasil, dia terpilih menjadi Presiden kendati pada awalnya minus dukungan para Mullah yang berpengaruh.
Menjadi cetak biru Revolusi Islam ala Iran memberikan keuntungan sekaligus kelemahannya. Terinspirasi oleh sang ideolog, Ayatullah Khomeini yang bercitra-cita membangun masyarakat Iran yang religius revolusioner, Kebijakan politik Ahmadinejad sepenuhnya merefleksikan garis politik sang Imam, yang anti Barat dan revolusioner. Ahmadinejad kerap melontarkan pernyataan kontroversial. Bagi mayoritas komunitas Muslim, sosok Ahmadinejad menjadi simbol heroisme dan perlawanan bagi hegemoni dan standar ganda Barat. Dia menyerukan penghapusan Israel dari peta dunia dan menyebut peristiwa holocaust sebagai mitos. Diwaktu lain, mengkritik Barat memeluk agama yang sesat dan menyerukan Bush memeluk Islam. Bagi Barat, retorikanya dan gagasan Revolusi Islamnya menjadi ancaman.
Dia dikritik sebagai seorang pemimpin yang tidak menawarkan alternatif apapun bagi Iran relijius dan modern selain hanya moralitas dan adopsi gagasan revolusioner yang dalam banyak hal terkesan utopis. Alih-alih, Iran semakin terisolasi dari percaturan internasional karena sikapnya yang tak mengenal kompromi. Iran gagal dalam diplomasi internasional. Akibatnya banyak proyek infrastruktur yang terbengkalai dan para investor yang hengkang. Selain itu, Iran menghadapi inflasi tinggi karena gagasan populisnya. GDP Iran anjlok dari angka pertumbuhan 7,5 persen yang ditargetkan Bank Sentral.
Bagi mayoritas Sunni –setidaknya Arab yang Sunni-, gagasan revolusioner dan modernisasi militer Iran besar-besaran mengundang kecemasan. Irak dan Lebanon menjadi medan perang ide dan pengaruh (battle of ideas) dan pengaruh antara Sunni dan Syiah. Ulama terkemuka Sunni, Yusuf Qaradhawi menyatakan keprihatinan agresifitas dakwah Syi’ah ditengah mayoritas Sunni.
Meski demikian, Iran ditakuti secara militer karena pencapaiannya dalam modernisasi militer. Iran memiliki kekuatan militer yang berdisiplin tinggi dan dikenal mampu melakukan perang laut asimetris (naval asymmetric warfare). Dalam hal akuisisi teknologi, Iran mempunyai rudal jarak jauh darat ke darat yang mampu menjangkau Eropa Selatan dan rudal jarak menengah udara ke udara yang dipandu laser dan berpresisi tinggi. Kemampuan perang inilah yang setidaknya hingga kini menghalangi Israel menyerang fasilitas nuklir Iran.
Bagaimana dengan Recep Tayyib Erdogan? Pendiri AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi) ini dicitrakan sebagai sosok politik yang memiliki integritas moral yang tinggi, efektif dan berwawasan terbuka. Karir politiknya diawali sebagai walikota Istambul yang sukses. Dia memperkenalkan birokrasi yang efektif dan pelayanan publik yang baik. Dia juga sukses memperbaiki sarana transportasi. Sebagai seorang pemimpin, dia dipandang dekat dengan rakyat, mengedarkan alamat emailnya dan membuka hotline dengan kantor walikota. Pasca kemenangan telak dalam Pemilu 2007, dia tidak segan menegaskan kembali komitmennya atas sekularisme, meneruskan agenda politik reformasi birokrasi dan ekonomi serta mendorong keanggotaan Turki dalam Uni Eropa. Manuver politik ini berseberangan dengan platform kalangan Islamis sehingga dikecam pedas mentornya, Dr. Necmetin Erbakan. “Dia meninggalkan platform politik Islam”, keluh sang arsitek gerakan Islam Turki. Bagi para pengkritiknya, Erdogan dianggap lebih percaya profit ketimbang prophet (nabi).
Banyak pengamat menilai langkah politik dramatis Erdogan tidak terlepas dari pengaruh latar belakangnya sebagai praktisi bisnis yang cenderung pragmatis. Saat mendekam dalam penjara, dia kerap kali dikunjungi pebisnis sekuler yang bersimpati dengannya, Cuneyd Zapsu. Dalam setiap kunjungannya, dia menyarankan Erdogan menanggalkan filosofi anti Baratnya. Namun seperti yang diakui Zapsu, Erdogan ternyata telah sampai kepada kesimpulannya sendiri. Erdogan diperkenalkan dengan Industrialis Turki keturunan Yahudi, Ishak Avalon yang memiliki networking dengan komunitas bisnis AS dan Eropa. Kedua orang ini menjadi figur penting dibalik sukses ekonomi pemerintahannya. Dalam isu ini pula, Erdogan tetap mempertahankan portopolio ekonomi yang dipegang kalangan professional dan kalangan praktisi, sekalipun diluar lingkungan partai. Pemerintahannya dalam waktu yang relatif singkat mampu mengatasi krisis ekonomi Turki yang akut. Hiperinflasi Turki anjlok menjadi hanya enam persen. “Kesuksesan terbesar dalam dasawarsa ini”, puji The Financial Times. Kesuksesan ini pula yang mengantarkan partainya menyabet 47 persen perolehan kursi parlemen dalam pemilu 2007.
Selain dikenal pragmatis dan kompromis, Erdogan juga sebagai pemimpin yang cermat, penuh perhitungan namun berani dalam mengambil keputusan. Hal ini terlihat dari pencalonan Abdullah Gul sebagai kandidat presiden Turki dan amandemen UU pelarangan jilbab. Langkah itu ditentang keras kubu sekuler dan militer sendiri mengancam melakukan kudeta. Banyak pihak termasuk kalangan investor dan partnernya dari Uni Eropa menyarankan dia mengurungkan niat dalam pencalonan presiden. Namun Erdogan bersikeras bahwa pencalonan Abdullah Gul adalah hak politik AKP sebagai pemenang Pemilu. Sedangkan, pencabutan larangan berjilbab adalah kebebasan beragama yang dihormati dalam sekularisme.
Ketika parlemen deadlock dia mengusulkan pemilu yang dipercepat. Walhasil, AKP mendapat dukungan penuh dari rakyat. Abdullah Gul menjadi Presiden Turki pertama dari kalangan Islamis. Tidak lama kemudian, dia menandatangani amandemen UU bagi pencabutan larangan berjilbab. Kegentingan politik Turki karena kengototan Erdogan dapat dilihat dari dua hal. Pertama, implikasi ekonomi Turki karena hengkangnya para investor dan kedua, terbongkarnya rencana kudeta kelompok Ergenekon yang didukung militer dan Israel.
Meski demikian, Erdogan bukanlah laiknya seorang pemimpin spiritual seperti Khoemeini yang segala titahnya selalu didengar para pengikutnya. Dalam babak Perang Teluk II 2003, sikap politik Erdogan berseberangan dengan para pendukungnya di Parlemen. Saat Erdogan membutuhkan ratifikasi Parlemen bagi pembukaan zona udara bagi pesawat AS yang akan menyerang Irak dengan iming-iming insentif ekonomi, para legislator AKP memboikot sidang sehingga ratifikasi gagal. Ketika Bush marah besar, Erdogan menjawab dengan enteng se-entengnya dia menganggap lumrah pembelotan para bawahannya. Bagi dia, inilah konsekuensi tuntutan demokratisasi yang lebih besar yang pernah dia suarakan di era Erbakan, yakni Partai Refah tanpa elit politburo. Dan bagi para pengikutnya, ‘politik dagang’ Erdogan tidak menjadikan mereka berang sehingga membuat partai politik baru. Dalam banyak hal, cara pandang yang melihat proses politik secara profan serta minus ideologisasi banyak menguntungkan AKP.
Untuk itu, Erdogan tetap dihormati sebagai ‘ideolog’ baru kalangan Islamis. Bagi para pengikutnya, Erdogan merefleksikan artikulasi baru peran politik Islam yang lebih mampu menjawab tantangan dominasi sekularisme ekstrim. Sementara bagi pihak luar, sosok Erdogan adalah figur yang dikatakan sempurna bagi upaya peredaan ketegangan kekuatan Islamis dan sekularisme di Turki. Turki dapat dijadikan model bagi pengembangan demokrasi di negara-negara Islam.

Melihat dari Perspektif yang Berbeda

Perbedaan model kepemimpinan Islamis di Turki dan Iran dapat dilihat dari perspektif sosio-politik yang berbeda. Model kepemimpinan Erdogan secara internal lahir dari protes model kepemimpinan yang elitis dan cenderung tidak demokratis sedangkan secara eksternal sebagai sebuah upaya kompromi atas sekularisme yang berurat akar Turki modern. Sementara Ahmadinejad sepenuhnya lahir dan mewarisi semangat revolusi melawan penindasan rejim diktator sekular bentukan AS. Keduanya mewakili gerakan perlawanan atas ekstrimitas sekularisme yang dipaksakan.
Namun perbedaan keduanya, jika di Turki, pasca meninggalnya Mustafa Kemal, gerakan protes mereka terkanalisasi dalam pertarungan melalui mekanisme demokrasi, yakni pemilu. Model kepemimpinan yang tumbuh baik Erbakan dan Erdogan mengalami pasifikasi kultural yang lebih melihat perubahan sebagai proses evolutif. Sebaliknya di Iran, tradisi tersebut tidak berkembang pasca kudeta 1954. Aksi gerakan Islam di Iran lebih mencerminkan gerakan pembebasan dan revolusi ketimbang semata refleksi gerakan protes. Perbedaan karakter ideologis kedua gerakan Islam, Syiah yang cenderung revolusioner dan Sunni yang reformasi evolutif juga mempengaruhi model kepemimpinan yang muncul.
Model Erdogan merefleksikan pemenuhan kebutuhan domestik Turki akan pemimpin yang cakap, mampu menegosiasikan keadaan, realistis, kompromistis, namun Islamis. Sedangkan Ahmadinejad, sosok pemimpin ideologis revolusioner, sederhana, konsisten dengan ideal Islam. Dia berani menolak tekanan Barat yang tidak adil dalam isu nuklir, sekalipun harus berperang. Ahmadinejad dapat dijadikan model bagi cita-cita Pan-Islamisme yang belum selesai atau setidak-tidaknya bagi upaya mewujudkan tata dunia yang lebih adil. Meski dalam jangka panjang, boleh jadi gagasan ini tidak menawarkan harapan kesejahteraan bagi rakyatnya ketika sumber daya yang dimiliki sepenuhnya digunakan bagi persiapan perang dan perwujudan cita-cita revolusi. Meski demikian, kepemimpinan yang muncul sangat dipengaruhi latar sejarah, ideologi gerakan dan kondisi obyektif sosio-politik yang ada. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts