Presiden Iran Ahmadinejad dan Perdana Menteri Recep Tayib Erdogan adalah
tokoh popular di dunia Islam. Sepak terjang kedua sosok ini selalu menjadi
perhatian internasional. Keduanya memiliki banyak kesamaan sekaligus perbedaan.
Persamaannya: keduanya mengawali karirnya sebagai walikota. Ahmadinejad
walikota Teheran sedangkan Erdogan adalah walikota Istambul. Lebih dari itu,
keduanya eksis dari sebuah gagasan spiritualisasi politik dan negara yang
diusung kelompok Islamis.
Ahmadinejad adalah seorang mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Teheran yang menjadi pengagum Ayatullah Khomeini saat pecah revolusi. Dia tersengat ideologi revolusioner sang Mullah yang mengajak menumbangkan rejim Diktator Shah yang zalim –yang sering disebut Mustakbirin- dukungan Amerika demi menolong golongan lemah (Mustad’afin) dan sempat bergabung dengan kelompok sukarelawan sipil Basiji dalam perang Irak-Iran, 1980. Karena sepak terjangnya tersebut, tuduhan tidak sedang sempat menghampirinya, terlibat langsung dalam penyanderaan staff diplomatik AS pasca Revolusi. Namun tuduhan tersebut akhirnya dimentahkan sendiri oleh CIA.
Ahmadinejad dikenal sebagai individu sederhana, piawai beretorika, keras
dalam pendirian namun santun dalam bertutur dan merakyat. Saat menjabat
walikota Teheran, dia tidak segan menyapu jalanan kota Teheran. Ketika dicecar mahasiswa karena
penampilannya yang ‘ndesani’, dengan bangga menjawab bahwa dirinya adalah
pelayan masyarakat. Kederhanaannya tercermin pula dalam pakaian yang
dikenakannya dan mobil butut Peugeot keluaran 1977 yang disopirinya sendiri.
Konon dia menyumbangkan gajinya sebagai walikota dan menghidupi keluarganya
dari gajinya sebagai dosen. Ahmadinejad masuk dalam shortlisted 65 kandidat
pemilihan World Mayor.
Tak heran, Ahmadinejad menjadi figur yang sangat populer dimata
masyarakat. Belum lagi, APBD kota
Teheran yang sepenuhnya didedikasikan bagi pelayanan masyarakat. Saat maju
dalam bursa pencalonan Presiden Iran,
2005, dia cukup tampil apa adanya dan minus dukungan finansial. Bahkan untuk
kampanye, para pendukungnya harus iuran untuk mengkopi potretnya sedang menyapu
jalanan atau didepan rumah sederhana berukuran 170 m persegi. Selebaran
stensilan para pendukungnya ternyata memiliki tuah politik. Ahmadinejad secara
telak mengalahkan kandidat kelas berat seperti Rafsanjani dan Ali Larijani.
Padahal dalam pelbagai survey dan polling, media selalu menempatkannya di nomor
butut. Namun ternyata publik Iran
memiliki logika politik sendiri dalam memilih calon pemimpinnya. Publik Iran
rindu dengan pemimpin yang bersahaja, panutan dan pro-rakyat. Walhasil, dia
terpilih menjadi Presiden kendati pada awalnya minus dukungan para Mullah yang
berpengaruh.
Menjadi cetak biru Revolusi Islam ala Iran memberikan keuntungan
sekaligus kelemahannya. Terinspirasi oleh sang ideolog, Ayatullah Khomeini yang
bercitra-cita membangun masyarakat Iran yang religius revolusioner,
Kebijakan politik Ahmadinejad sepenuhnya merefleksikan garis politik sang Imam,
yang anti Barat dan revolusioner. Ahmadinejad kerap melontarkan pernyataan
kontroversial. Bagi mayoritas komunitas Muslim, sosok Ahmadinejad menjadi
simbol heroisme dan perlawanan bagi hegemoni dan standar ganda Barat. Dia
menyerukan penghapusan Israel
dari peta dunia dan menyebut peristiwa holocaust sebagai mitos. Diwaktu lain,
mengkritik Barat memeluk agama yang sesat dan menyerukan Bush memeluk Islam.
Bagi Barat, retorikanya dan gagasan Revolusi Islamnya menjadi ancaman.
Dia dikritik sebagai seorang pemimpin yang tidak menawarkan alternatif
apapun bagi Iran
relijius dan modern selain hanya moralitas dan adopsi gagasan revolusioner yang
dalam banyak hal terkesan utopis. Alih-alih,
Iran semakin
terisolasi dari percaturan internasional karena sikapnya yang tak mengenal
kompromi. Iran
gagal dalam diplomasi internasional. Akibatnya banyak proyek infrastruktur yang
terbengkalai dan para investor yang hengkang. Selain itu, Iran menghadapi inflasi tinggi
karena gagasan populisnya. GDP Iran anjlok dari angka pertumbuhan 7,5 persen yang
ditargetkan Bank Sentral.
Bagi mayoritas Sunni –setidaknya Arab yang Sunni-, gagasan revolusioner
dan modernisasi militer Iran
besar-besaran mengundang kecemasan. Irak dan Lebanon
menjadi medan
perang ide dan pengaruh (battle of ideas) dan pengaruh antara Sunni dan Syiah.
Ulama terkemuka Sunni, Yusuf Qaradhawi menyatakan keprihatinan agresifitas
dakwah Syi’ah ditengah mayoritas Sunni.
Meski demikian, Iran
ditakuti secara militer karena pencapaiannya dalam modernisasi militer. Iran
memiliki kekuatan militer yang berdisiplin tinggi dan dikenal mampu melakukan
perang laut asimetris (naval asymmetric warfare). Dalam hal akuisisi teknologi,
Iran
mempunyai rudal jarak jauh darat ke darat yang mampu menjangkau Eropa Selatan
dan rudal jarak menengah udara ke udara yang dipandu laser dan berpresisi
tinggi. Kemampuan perang inilah yang setidaknya hingga kini menghalangi Israel menyerang fasilitas nuklir Iran.
Bagaimana dengan Recep Tayyib Erdogan? Pendiri AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi) ini dicitrakan sebagai sosok politik
yang memiliki integritas moral yang tinggi, efektif dan berwawasan terbuka.
Karir politiknya diawali sebagai walikota Istambul yang sukses. Dia
memperkenalkan birokrasi yang efektif dan pelayanan publik yang baik. Dia juga
sukses memperbaiki sarana transportasi. Sebagai seorang pemimpin, dia dipandang
dekat dengan rakyat, mengedarkan alamat emailnya dan membuka hotline dengan
kantor walikota. Pasca kemenangan telak dalam Pemilu 2007, dia tidak segan
menegaskan kembali komitmennya atas sekularisme, meneruskan agenda politik
reformasi birokrasi dan ekonomi serta mendorong keanggotaan Turki dalam Uni
Eropa. Manuver politik ini berseberangan dengan platform kalangan Islamis
sehingga dikecam pedas mentornya, Dr. Necmetin Erbakan. “Dia meninggalkan platform politik Islam”, keluh sang arsitek
gerakan Islam Turki. Bagi para pengkritiknya, Erdogan dianggap lebih percaya
profit ketimbang prophet (nabi).
Banyak pengamat menilai langkah politik dramatis Erdogan tidak terlepas dari pengaruh latar belakangnya sebagai praktisi bisnis yang cenderung pragmatis. Saat mendekam dalam penjara, dia kerap kali dikunjungi pebisnis sekuler yang bersimpati dengannya, Cuneyd Zapsu. Dalam setiap kunjungannya, dia menyarankan Erdogan menanggalkan filosofi anti Baratnya. Namun seperti yang diakui Zapsu, Erdogan ternyata telah sampai kepada kesimpulannya sendiri. Erdogan diperkenalkan dengan Industrialis Turki keturunan Yahudi, Ishak Avalon yang memiliki networking dengan komunitas bisnis AS dan Eropa. Kedua orang ini menjadi figur penting dibalik sukses ekonomi pemerintahannya. Dalam isu ini pula, Erdogan tetap mempertahankan portopolio ekonomi yang dipegang kalangan professional dan kalangan praktisi, sekalipun diluar lingkungan partai. Pemerintahannya dalam waktu yang relatif singkat mampu mengatasi krisis ekonomi Turki yang akut. Hiperinflasi Turki anjlok menjadi hanya enam persen. “Kesuksesan terbesar dalam dasawarsa ini”, puji The Financial Times. Kesuksesan ini pula yang mengantarkan partainya menyabet 47 persen perolehan kursi parlemen dalam pemilu 2007.
Banyak pengamat menilai langkah politik dramatis Erdogan tidak terlepas dari pengaruh latar belakangnya sebagai praktisi bisnis yang cenderung pragmatis. Saat mendekam dalam penjara, dia kerap kali dikunjungi pebisnis sekuler yang bersimpati dengannya, Cuneyd Zapsu. Dalam setiap kunjungannya, dia menyarankan Erdogan menanggalkan filosofi anti Baratnya. Namun seperti yang diakui Zapsu, Erdogan ternyata telah sampai kepada kesimpulannya sendiri. Erdogan diperkenalkan dengan Industrialis Turki keturunan Yahudi, Ishak Avalon yang memiliki networking dengan komunitas bisnis AS dan Eropa. Kedua orang ini menjadi figur penting dibalik sukses ekonomi pemerintahannya. Dalam isu ini pula, Erdogan tetap mempertahankan portopolio ekonomi yang dipegang kalangan professional dan kalangan praktisi, sekalipun diluar lingkungan partai. Pemerintahannya dalam waktu yang relatif singkat mampu mengatasi krisis ekonomi Turki yang akut. Hiperinflasi Turki anjlok menjadi hanya enam persen. “Kesuksesan terbesar dalam dasawarsa ini”, puji The Financial Times. Kesuksesan ini pula yang mengantarkan partainya menyabet 47 persen perolehan kursi parlemen dalam pemilu 2007.
Selain dikenal pragmatis dan kompromis, Erdogan juga sebagai pemimpin yang
cermat, penuh perhitungan namun berani dalam mengambil keputusan. Hal ini
terlihat dari pencalonan Abdullah Gul sebagai kandidat presiden Turki dan
amandemen UU pelarangan jilbab. Langkah itu ditentang keras kubu sekuler dan
militer sendiri mengancam melakukan kudeta. Banyak pihak termasuk kalangan
investor dan partnernya dari Uni Eropa menyarankan dia mengurungkan niat dalam
pencalonan presiden. Namun Erdogan bersikeras bahwa pencalonan Abdullah Gul
adalah hak politik AKP sebagai pemenang Pemilu. Sedangkan, pencabutan larangan
berjilbab adalah kebebasan beragama yang dihormati dalam sekularisme.
Ketika parlemen deadlock dia mengusulkan pemilu yang dipercepat.
Walhasil, AKP mendapat dukungan penuh dari rakyat. Abdullah Gul menjadi
Presiden Turki pertama dari kalangan Islamis. Tidak lama kemudian, dia
menandatangani amandemen UU bagi pencabutan larangan berjilbab. Kegentingan
politik Turki karena kengototan Erdogan dapat dilihat dari dua hal. Pertama,
implikasi ekonomi Turki karena hengkangnya para investor dan kedua,
terbongkarnya rencana kudeta kelompok Ergenekon yang didukung militer dan Israel.
Meski demikian, Erdogan bukanlah laiknya seorang pemimpin spiritual
seperti Khoemeini yang segala titahnya selalu didengar para pengikutnya. Dalam
babak Perang Teluk II 2003, sikap politik Erdogan berseberangan dengan para
pendukungnya di Parlemen. Saat Erdogan membutuhkan ratifikasi Parlemen bagi
pembukaan zona udara bagi pesawat AS yang akan menyerang Irak dengan
iming-iming insentif ekonomi, para legislator AKP memboikot sidang sehingga
ratifikasi gagal. Ketika Bush marah besar, Erdogan menjawab dengan enteng
se-entengnya dia menganggap lumrah pembelotan para bawahannya. Bagi dia, inilah
konsekuensi tuntutan demokratisasi yang lebih besar yang pernah dia suarakan di
era Erbakan, yakni Partai Refah tanpa elit politburo. Dan bagi para
pengikutnya, ‘politik dagang’ Erdogan tidak menjadikan mereka berang sehingga
membuat partai politik baru. Dalam banyak hal, cara pandang yang melihat proses
politik secara profan serta minus ideologisasi banyak menguntungkan AKP.
Untuk itu, Erdogan tetap dihormati sebagai ‘ideolog’ baru kalangan
Islamis. Bagi para pengikutnya, Erdogan merefleksikan artikulasi baru peran
politik Islam yang lebih mampu menjawab tantangan dominasi sekularisme ekstrim.
Sementara bagi pihak luar, sosok Erdogan adalah figur yang dikatakan sempurna
bagi upaya peredaan ketegangan kekuatan Islamis dan sekularisme di Turki. Turki
dapat dijadikan model bagi pengembangan demokrasi di negara-negara Islam.
Melihat dari Perspektif yang Berbeda
Melihat dari Perspektif yang Berbeda
Perbedaan model kepemimpinan Islamis di Turki dan Iran dapat dilihat dari perspektif
sosio-politik yang berbeda. Model kepemimpinan Erdogan secara internal lahir
dari protes model kepemimpinan yang elitis dan cenderung tidak demokratis
sedangkan secara eksternal sebagai sebuah upaya kompromi atas sekularisme yang
berurat akar Turki modern. Sementara Ahmadinejad sepenuhnya lahir dan mewarisi
semangat revolusi melawan penindasan rejim diktator sekular bentukan AS.
Keduanya mewakili gerakan perlawanan atas ekstrimitas sekularisme yang
dipaksakan.
Namun perbedaan keduanya, jika di Turki, pasca meninggalnya Mustafa
Kemal, gerakan protes mereka terkanalisasi dalam pertarungan melalui mekanisme
demokrasi, yakni pemilu. Model kepemimpinan yang tumbuh baik Erbakan dan
Erdogan mengalami pasifikasi kultural yang lebih melihat perubahan sebagai
proses evolutif. Sebaliknya di Iran, tradisi tersebut tidak berkembang pasca
kudeta 1954. Aksi gerakan Islam di Iran lebih mencerminkan gerakan pembebasan
dan revolusi ketimbang semata refleksi gerakan protes. Perbedaan karakter
ideologis kedua gerakan Islam, Syiah yang cenderung revolusioner dan Sunni yang
reformasi evolutif juga mempengaruhi model kepemimpinan yang muncul.
Model Erdogan merefleksikan pemenuhan kebutuhan domestik Turki akan
pemimpin yang cakap, mampu menegosiasikan keadaan, realistis, kompromistis,
namun Islamis. Sedangkan Ahmadinejad, sosok pemimpin ideologis revolusioner,
sederhana, konsisten dengan ideal Islam. Dia berani menolak tekanan Barat yang
tidak adil dalam isu nuklir, sekalipun harus berperang. Ahmadinejad dapat
dijadikan model bagi cita-cita Pan-Islamisme yang belum selesai atau
setidak-tidaknya bagi upaya mewujudkan tata dunia yang lebih adil. Meski dalam
jangka panjang, boleh jadi gagasan ini tidak menawarkan harapan kesejahteraan
bagi rakyatnya ketika sumber daya yang dimiliki sepenuhnya digunakan bagi
persiapan perang dan perwujudan cita-cita revolusi. Meski demikian,
kepemimpinan yang muncul sangat dipengaruhi latar sejarah, ideologi gerakan dan
kondisi obyektif sosio-politik yang ada. Wallahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar