Di atas minbar
salah satu rumah Allah di daratan India, seorang lelaki tua dengan sorot mata
tajam membelakangi arah kiblat,menghadap jama’ah shalat jum’at yang khusuk
mendengarkan khutbahnya. Suaranya yang tegas, kadang lantang menantang, kadang
perlahan membuat dada bergetar dan kepala tertunduk.
Saat itulah ia mengeluarkan gundah gulananya,
mengeluhkan kondisi India yang semakin parah. Tak terhitung jumlah dan jenis
kemaksiatan yang dipertontonkan para pelakunya. Pandangan yang sangat jauh
sekali dari tuntunan Ilahi berserakan dimana-mana.
Hatinya
pilu. Dengan lirih ia melambungkan tanda tanya. Belum lahirkah di tanah ini
seorang pemuda yang akan meneruskan perjuangan da’wahnya, padahal ia sudah
renta dan ajal sudah tersenyum duduk menantinya.
Lelaki
tua itu berkali-kali mengatakan, betapa
ia sangat berharap munculnya pemuda yang
peduli akan kondisi umatnya, mengajak mereka kepangkuan syariat Islam dan
menegakkan kalimat Allah di muka bumi.
Di
antara jama’ah yang mendengarkan nasihat itu, nampak sepasang mata bugar tak
berkedip memandang lelaki tua itu. Telinganya tajam menyimak keluhan hati sang
Syaikh. Ia begitu terkesima.
Seusai
shalat jum’at, ketika satu persatu
jama’ah pulang ke tempat masing-masing, pemuda itu menghampiri sang Syaikh. Dengan penuh rasa ta’dzim ia berkata mantap,”Ya Syaikh, sayalah pemuda
itu!”
Ikrar
diri yang digaungkan pemuda itu tidak main-main. Seketika sesudahnya, pemuda
itu mengurung diri di dalam perpustakaan selama lima tahun. Ia kumpulkan bekal
sebanyak-banyaknya. Waktu demi waktu tak ada yang ia biarkan lepas sia – sia.
Akhirnya
sejarahlah yang mencatatnya. Allah tidak menyianyiakan jerih payah hambanya.
Pemuda itu di kemudian hari berhasil mendirikan gerakan Islam yang sangat di
perhitungkan. Siapakah pemuda itu ? Dialah Abul A’la Al Maududi, pendiri Jamaat Islami.
Remaja yang ketika berusia 15 tahun telah mengantungi segenap makna azam. Hanya dengan kalimat singkat yang
ia ikrarkan kepada sesepuhnya:”Akulah pemuda itu”. Ia telah berikrar. Ia
benarkan pula ikrar itu. Ia telah membuktikan kata katanya, hingga menjadi
seorang mujahiddid dan mujahid da’wah sampai ketika senja menjemput usianya.
Kisah
Al Maududi adalah sejarah tentang keteguhan (tsabat ). Tsabat lahir dari rasa yakin akan kebenaran jalan yang dipilih. Ia lahir
dalam diri seseorang setelah ia memutuskan
kemana arah hidupnya. Apa jalan yang akan dan harus ia tempuh sampai akhir hayatnya ? kemudian ia berpuas
diri dengan pilihan dan keputusannya. Tidak berpaling selama perjalanannya
meski banyak yang memanggil dan merayunya untuk berpaling.
Banyak
sekali godaan yang dapat memalingkan keteguhan seorang muslim dari jalan yang
dipilih dan di belanya :
Pertama,
godaan materi. Banyak orang yang menyingkir dari jalan yang sudah diyakininya,
lantaran tak kuasa menahan tarikan-tarikan materialis. Tak sedikit para penyeru
kebaikan yang semula ingin menekuni jalur ekonomi, misalnya, akhirnya justru
terseret arus materialis yang luar biasa. Kesibukannya berurusan dengan rekan bisnis
menjadikan ia tak punya waktu lagi untuk berinteraksi dengan sesama pejuang
da’wah. Akhirnya,pintu-pintu syaitan perlahan-lahan memanggilnya. Hingga sang
penyeru kebaikan itu menjauhi lingkungan orang-orang yang menyeru Rabbnya siang
dan malam. Mudah-mudahan Allah melindungi kita dari keadaan seperti itu.
Kedua,
perbedaan cara pandang. Goyahnya keteguhan bisa pula bermula dari perbedaan
cara pandang.dalam sebuah komunitas, organisasi, atau jama’ah da’wah misalnya,
perbedaan sebenarnya hal yang biasa. Tapi hal yang buruk bila salah satu
bersikeras memaksakan pendapatnya. Bahkan kadang sampai melawan konsensus
bersama (syura). Saat
itulah, sapuan-sapuan angin syaitan mulai berhembus. Melahirkan rasa saling
tidak percaya. Tidak itu saja, ketidakpercayaan itu juga merembet dilemparkan
ke organisasi, komunitas, atau jama’ah tersebut. Cap-cap buruk
bermunculan: ” Tidak mengerti realita,
tidak tanggap mengatasi situasi yang berkembang
cepat,” dan berbagai cap emosional lainya.
Dalam
kunjungan ke Indonesia beberapa waktu lalu, Dr.Yusuf Al-Qordhowi, selepas
shalat jum’at mengingatkan kaum muslimin Indonesia tentang pentingnya teguh
bersama jama’ah da’wah. Ia menyintir sabda Rasulullah, yang artinya,”Tangan
Allah bersama jama’ah, barang siapa yang mengasingkan diri maka ia mengasingkan
diri menuju neraka.”
Ketiga,
bergaul dengan orang-orang fasik. Keteguhan bisa runtuh karena pengaruh orang
– orang yang salah orientasi. Orang fasik orientasi hidupnya sekedar kepuasan
hawa nafsu. Maka, banyak berinteraksi dengan orang-orang seperti itu sangat
berbahaya. Memang, orang-orang fasik itu tetap harus diajak dalam kebaikan.
Tetapi, berinteraksi dengan mereka harus diimbangi dengan kualitas dan
kuantitas interaksi dengan saudara seiman. Agar ada suplai energi keimanan dan
nasihat yang bisa diambil untuk menjaga imunitas.
Bila
suatu hari kita merasakan kelabilan berpijak, tak ada kekokohan hati, terombang
ambing oleh permasalahn pribadi, ambillah waktu sejenak untuk merenung.
Sudahkah kita menetapkan pilihan arah hidup? Sudahkah kita mengikrarkan dengan sungguh-sungguh : mana jalan yang kita
tempuh? Apakah jalan itu jalan perjuangan yang mendaki dan penuh onak duri?
Ataukah jiwa kita lebih memilih jalan biasa saja, yang sudah di tempuh
kebanyakan orang. Jalan yang tidak memerlukan jerih payah?
Ataukah
kita belum pernah merenung, untuk berani memutuskan jalan apa yang akan kita
tempuh sampai akhir hayat ini ? Ataukah kita biarkan hidup kita mengalir seperti
air sungai, tak peduli kemana mengalir dan apa yang turut terbawa
mengalir ?
Pilihan arah itulah yang akan menjadikan
seluruh aktifitas hidup kita bermuara pada satu tujuan. Saat itulah kita akan
menemukan diri kita yang sesungguhnya. Seperti ketika Abul A’la Al-Maududi
menentukan jalan hidupnya. Begitupun, keteguhan laksana pohon yang harus terus
di dipupuk dan diairi. Salah satunya dengan do’a tulus ke hadirat Allah. Karena
Dialah yang Berkuasa mengubah detak-detak hati manusia. Rasulullah SAW
mengajarkan do’a itu,” Wahai Dzat yang
membolak-balikkan hati, teguhkan hatiku di atas agama-Mu.”
Sebelum menjadi orang-orang besar, sejarah terlebih dahulu
mencatat kebesaran jiwa orang-orang itu. Semangat yang besar, kesabaran yang
besar, pengorbanan yang besar, juga ketulusan yang besar. Dengan kebesaran itu,
tidak saja seorang muslim bisa meraih prestasi
pribadinya, tapi juga sumbangsihnya bagi maslahat umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar