Jumat, 16 September 2016

Menakar Kewahabian PKS



Oleh: Muhammad Zulifan
(Peneliti, Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam-UI)

Definisi Wahabi

Wahabi (‎ الوهابية) atau Wahhabisme adalah paham keislaman yang disandarkan pada tokoh ulama Muhammad ibn Abdul Wahhab (1703-1787 M) sebagai pencetus gerakan pemurnian aqidah di Arab Saudi. 

Lewat kerjasamanya dengan Bani Saud yang memerintah negara Arab Saudi tahun 1924, gerakan wahabi berhasil menyeragamkan pemahaman Islam di Jazirah Arab. 

Madzhab dan gerakan lain yang tidak sefaham dengan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab kemudian diberangus, termasuk keramahan ajaran sufi yang dianggap menyalahi akidah. Sikap keras gerakan inilah yang kemudian ditakutkan untuk diterapkan di Indonesia yang mempunyai pemahamam Islam yang heterogen.

Sebenarnya tidak ada definisi baku atas pengertian wahabi. Secara umum istilah wahabi digunakan untuk mempersepsi pihak lain yang tidak asertif terhadap adanya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. 

Konteks Indonesia, mereka yang tidak menerima adanya unsur tradisi Islam di Nusantara seperti tahlilan, selamatan kematian dan perayaan Hari Besar Islam menjadi pihak yang disasar istilah wahabi.

Munculnya Gerakan Islam
Seiring tersebarnya Islam ke penjuru dunia, muncullah tokoh-tokoh ulama yang berijtihad sesuai kondisi masyarakat di tiap negara. Tidak ada lagi sumber rujukan tunggal sebagaimana era Nabi. Dari sini corak keislaman mulai Nampak, Islam menyatu dengan budaya masyarakat tanpa meninggalkan prinsip-prinsipnya. 

Muncullah era imam madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafei dan Hambali). Ribuan tahun berlalu, umat Islam di masing-masing wilayah mempraktikkan ajaran Islam sesuai madzhab yang mereka anut.
Memasuki abad modern, muncullah para mujaddid (pembaharu Islam) yang membawa ijtihad gerakan Islam sebagai respon atas keterpurukan umat Islam waktu itu, terutama sebab penjajahan bangsa Barat. 

Sederet nama tokoh bermunculan mulai Muhammad bin Ali as-Sanusi (1787- 1859) dengan Gerakan Sanusiyyah di Afrika Utara, Jamaluddin Al Afghani (1839-1897) dengan pan Islamisme-nya yang bertujuan membina kesetiakawanan dan persatuan umat Islam serta menentang kolonialisme dan dominasi Barat., Muhammad Ali Jinnah (1876-1948) di India, Muhammad Abduh (1849 –1905) dan Rasyid Ridha (1865-1935) di Mesir dengan gerakan pendidikan Islamnya.

Dua tokoh terakhir menginspirasi K.H Ahmad Dahlan melalui majalah Al-Manar, hingga sekembalinya dari Mekah, beliau mendirikan gerakan Muhammadiyah pada tahun 1912. Disusul kemudian K.H. Hasyim Asyari dengan mendirikan Nahdhatul Ulama (NU) pada tahun 1926. 

Dua gerakan ini pada akhirnya menjadi tulang punggung Islam di bumi nusantara lewat kegiatan pendidikan dan sosialnya, tak terkecuali peran kader mereka dalam mempertahankan RI di masa perang kemerdekaan.



K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah (www.sangpencerah.com)

Selain nama-nama di atas, muncul pembaharu Islam dengan gerakan (harokah) yang jaringannya tersebar ke mancanegara, tak terkecuali Indonesia. Sebut saja nama Hasan Al-Banna yang mendirikan jamah Ikhwanul Muslimin (IM) pada tahun 1928, serta Taqiyyudin An Nabhani dengan gerakan Hizbut Tahrir (HT) pada tahun 1953, disamping gerakan Salafi yang muncul sebagai anak kandung pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahhab melalui berbagai organisasi dan lembaga dakwah di Indonesia.

Pada tahun 1980-an, mulailah gerakan Islam tersebut intens masuk ke Indonesia. Salah satu faktor yang menyebabkan gerakan-gerakan itu mudah diterima di kalangan kaum terpelajar perkotaan adalah faktor gagasan dunia Islam, serta faktor internasionalisme Islam, sesuatu yang tidak dimiliki gerakan Islam sebelumnya seperti NU dan Muhammadiyah.

Gerakan dakwah di kampus-kampus di tanah air mulai marak pada tahun 90-an. Muncullah nama Lembaga Dakwah Kampus dan Rohis. Sampai tahun 2000-an, setidaknya ada 3 mainstream gerakan dakwah yang dominan di kampus; Tarbiyah, Salafy dan HTI. Masing-masing gerakan tersebut memunculkan corak keislaman yang unik.

Salah satu faktor daya tarik gerakan Islam di atas adalah faktor internasionalisme Islam. Secara alamiah, orang akan mencari apa yang tidak ditemukan pada komunitas sebelumnya. Karenanya, sebuah organisasi mudah diinfiltrasi sebuah paham dari luar ketika terdapat celah pemikiran yang kosong. Dibanding Ormas yang bersifat lokal, gerakan Islam tersebut dipandang lebih punya cita-cita persatuan internasional yang jelas. 

Bagi sebagian pemuda muslim, NU dan Muhammadiyah dinilai sudah tidak dapat menjawab tantangan global hingga tak mampu lagi menampung aspirasi mereka. Faktor ini yang menjadikan ormas tersebut dirasa kurang responsif pada penyikapan isu-isu dunia Islam semisal masalah Palestina dan penjajahan dunia Islam.

Karena sering mengangkat isu dunia Islam dan terkoneksi dengan jaringan gerakan Islam di manca negara itulah gerakan Islam disebut sebagai gerakan transnasional oleh Ormas Islam. Istilah transnasional sebenarnya ahistoris, karena istilah tersebut bertentangan dengan karakteristik Islam yang dicontohkan oleh generasi awal Islam hingga era Dinasti Muawiyah, Abbasaiyah dan Turki Ustmani yang tidak hanya bergerak dalam lingkup sebuah negara (nation state). 

Dahulu wilayah kekhalifahan Islam membentang dari Afrika Utara, Jazirah Arab, Balkan, hingga Asia Tengah yang diperintah dengan satu komando seorang khalifah.

Soal istilah wahabi, gerakan Islam yang muncul belakangan dianggap berfaham wahabi karena cenderung tidak asertif terhadap budaya nusantara serta mencita-citakan berdirinya negara Islam atau setidaknya tegaknya syariat Islam. Meski hal tersebut tidak sepenuhnya benar adanya.

Akar Ideologi PKS
PKS muncul saat spora kebebasan bertebaran di tanah air pasca reformasi 1998. Gerakan ini berakar dari gerakan tarbiyah yang terinspirasi oleh gerakan Ikhwanul Muslimin (IM), gerakan Islam terbesar yang didirikan Hasan Al-Banna tahun 1928 di Mesir.


Hasan Al-Banna, pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir

IM (populer dengan sebutan Ikhwan) merupakan gerakan Islam yang paling komplit secara doktrin ideologi. Gerakan ini mempunyai ideologi organisasi yang disebut Amin Rais (1987) sebagai the total conception of ideology. 

Bagi kaum Tarbiyah, Islam dipandang sebagai sistem serba inklusif yang mencakup realitas komprehensif; rangkaian yang penuh semangat dan tekad mengubah cara hidup yang menyeluruh. 

Islam sebagai ideologi dipandang meliputi seluruh kegiatan hidup manusia di dunia, sehingga merupakan doktrin, ibadah, tanah air, kewarganegaraan, agama, negara, spriritualitas, aksi, al-Quran dan militer. Doktrin kelengkapan dakwah (syumuliyah) gerakan Tarbiyah lebih lanjut dapat dirujuk melalui buku Manhaj Ishlah (Dr. Mursiy Ramadhan, 2014). 

Disebutkan di dalamnya bahwa Ikhwan menegaskan dakwahnya sebagai Dakwah Salafiyah (mengikuti generasi salafusshalih), Thariqah sunniyah (kelompok ahlussunnah), hakikah sufiyah (berjiwa sufi), haiah siyasiyah (lembaga politik), jamaah riyadhiyah (klub olaharaga), rabithah ilmiyah tsaqafiyah (lembaga wawasan ilmiah), syarikah iqtishadiyah (persyarikatan ekonomi), fikrah ijtima’iyah (pemikiran sosial).


Dari sini kita dapat lihat bahwa gerakan Tarbiyah berusaha mengumpulkan serpihan puzzle-puzzle kebaikan umat Islam yang terserak selama 14 abad keberadaanya ke dalam sebuah manhaj yang inklusif untuk bersatu membangun peradaban dunia yang lebih adil.

Menariknya, unsur ajaran sufi (tasawuf) diterima Ikhwan sebagai salah satu ijtihad ulama dalam upaya mensucikan jiwa dari penyakit hati dan kesombongan. Berbeda dengan gerakan Salafi dimana sufi dianggap sebagai unsur bidah yang merusak akidah, meskipun sebenarnya solusi sifat keras kaum Salafi ada di ajaran tasawuf.

Seorang muslim yang belajar tasawuf akan dididik untuk senantiasa berhati lembut dan merendah di hadapan muslim lain. Ia senantiasa menyadari dirinya penuh dosa, sehingga memandang orang lain lebih mulia darinya. 

Lain halnya dengan Salafi, ketika seseorang masuk ke pengajiannya, maka ia akan didoktrin bahwa manhaj merekalah yang paling lurus sesuai ajaran salafus shalih, sedang jamaah selain mereka bid’ah dan harus diluruskan. Wajar jika di lapangan mereka cenderung menyalahkan meski hal itu sebenarnya perkara khilafiyah.

Bagi Ikhwan, keragaman jamaah adalah keragaman yang bersifat variatif dan spesialisasi, bukan keragaman yang bersifat kontradiktif. Tidaklah ada kelebihan satu jamaah dengan jamaah lainnya, kecuali semuanya saling melengkapi. 

Ikhwan menegaskan bahwa jamaahnya adalah jamaah ijtihadiyah, sebagaimana jamaah-jamaah Islam lainnya yang mempunyai potensi benar dan salah yang sama dalam bertindak.

Tasawuf menjadi faktor kesamaan Tarbiyah dengan NU. Baik NU maupun Ikhwan keduanya mengakomodir Aqidah, Fiqih dan Tasawuf dalam manhajnya. Sebagaimana Al-Azhar, Ikhwan menerima akidah Asyariyah dan fikih Syafi’i yang dianut NU. Bahkan Hasan Al-Banna sendiri mengikuti tarekat Sufi Hasafiyah di Mesir. 

Yang membedakan keduanya adalah sanad pemikiran. Tarbiyah mempunyai sanad ke IM Mesir Abad 20, sedangkan NU sanadnya ke Ulama-ulama di Makkah abad 18-19. Bedanya, bila corak keislaman Ikhwan cenderugn ke salaf, maka corak keislaman NU cenderung ke tasawuf.

Kesamaan Tarbiyah dan Muhammadiyah lebih ke arah gerakan kemasyarakatannya (fikroh ijtimaiyyah) dimana keduanya mempunyai amal usaha sosial baik sekolah, Rumah sakit, lembaga Zakat hingga lembaga keuangan. 

Tidak seperti HTI ataupun Salafi yang menjauhi aktivitas sosial kemasyarakatan, Ikhwan (sebagaimana Muhammadiyah) giat menjadi penggerak utama sendi-sendi kehidupan bermasyarakat seperti menjadi pengurus RT, Karang Taruna, hingga jabatan sosial lainnya. Hal inilah yang menjadi sebab adanya gesekan antara keduanya, lebih-lebih dalam ranah politik praktis (demokrasi).

Yang membedakan dengan Muhammadiyah adalah faktor internasionalisme Islam. Faktor internasionalisme inilah yang menajdi titik persamaan Ikhwan dengan Hizbut Tahrir (HT). Meskipun Manhaj Ikhwan tidak secara spesifik merujuk salah satu bentuk negara maupun bentuk khilafah, Ikhwan mencita-citakan bahwa dakwahnya di kemudian hari akan menjadi ustadziatul ’alam (soko guru peradaban dunia).





Lambang ikhwanul muslimin

Unsur pemahaman salaf menjadi kesamaan Ikhwan dengan kaum Salafi. Bedanya, salafi tidak mempunyai doktrin sosial-politik atau metode mengishlah negara, namun sekedar penekanan untuk senantiasa taat pada ulil amri bagaimanapun keadaanya pemimpin selama ia masih sholat dan apapun bentuk pemerintahannya. Corak ketaatan mutlak pada ulil amri tersebut terpengaruh oleh sejarah negara saudi yang membagi otoritas agama untuk Muhammad ibn Abdul Wahhab (ulama) dan otoritas politik untuk Raja (Bani Saud).

Gerakan Salafi dinilai jumud karena mengadopsi pemahaman generasi salaf yang hidup di jazirah Arab ribuan tahun lalu tanpa memisahkan mana yang tsawabit (permanen) dan mana yangmutaghayyirat (dinamis) dalam konteks masyarakat Indonesia. Mereka mempraktekkan secaraletterlijk apa-apa yang ada di masa salaf hingga ke ranah sosial budaya dan politik sekalipun. 

Dalam prakteknya, cara merujuk generasi salaf tersebut didasarkan atas penafsiran para ulama Arab Saudi seperti Syaikh Nasiruddin al-Albani, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Fauzan, dst. Alhasil, pandangan Sosial-politik kaum salafi justru pada akhirnya mengikuti konteks masyarakat Arab Saudi yang sama sekali berbeda dengan kondisi sosial-politik Indonesia. 

Di Arab Saudi, seluruh aspek kehidupan di atur negara hingga imam masjid pun ditunjuk dan digaji kerajaan. Tugas rakyat hanya satu; patuh pada perintah Raja.

Tak heran jika pandangan sosial-budaya kaum salafi menyalahi budaya Nusantara seperti penolakan mereka terhadap adat-istiadat masyarakat Indonesia, seni budaya termasuk tembang macapat (lagu), wayang dan sarana budaya lainnya yang digunakan Walisongo dalam mengislamkan pulau Jawa. 

Yang paling kentara adalah cara berpakaian mereka dengan berpakain ala Arab Saudi; gamis bagi laki-laki dan pakaian kurung panjang serba hitam bagi kaum wanitanya. Ikhwan lebih asertif terhadap budaya lokal. 

Doktrin sosial Ikhwan menjadikan mereka aktif di semua lini masyarakat dan negara, serta terbuka terhadap budaya lokal seperti membiasakan berpakaian batik dan peci dalam aktivitas keseharian para aktivis PKS. 

Bahkan pertunjukan wayang pun pernah dihelat PKS dalam acara resmi mereka, hingga Ki Manteb Sudarsono diberikan penghargaan sebagai budayawan saat Munas II PKS di Jakarta.



Jelas sudah bahwa dakwah Ikhwan mengadopsi unsur-unsur kebaikan yang ada di semua jamaah dan berusaha menjadi penengah. Tidak salah jika Ikhwan mendefinisikan gerakannya universal, komprehensif, manhajnya integral dan menyeluruh, senantiasa berusaha untuk menjauhi titik-titik khilafiyah, bersifat wasatiyah (pertengahan), positif terhadap alam, manusia dan kehidupan, Realistis ketika berinteraksi dengan individu dan masyarakat, mengutamakan akhlak dan kesantunan dalam tujuan-tujuan, misi dan sarana, serta dakwah yang logis dan diterima masyarakat (Manhaj Ishlah: 95-105).

Karena menganut dakwah yang logis inilah, gerakan Ikhwan akan bisa menerima demokrasi dan konsep nation state dan menganggapnya sebagai ijtihad ulama di negara bersangkutan.

Lebih lanjut sifat kemoderatan PKS dalam melihat wacana negara dan sosial diakui sendiri oleh tokoh yang terkenal berseberangan dengan gerakan Islam selama ini, Ade Armando:

“Harap dicatat, komunitas besar ini tidak dicirikan dengan keinginan mendirikan Negara Islam, seperti Hizbut Tahrir atau NII. Mereka tidak radikal. Mereka pada dasarnya gerakan damai yang berobsesi mempersatukan para pemuda-pemuda muslim terbaik untuk membangun sebuah negara yang lebih Islami…Mereka tidak memusuhi non-muslim. Mereka tidak eksklusif. Mereka cukup terbuka.” (adearmando.wordpress.com)

PKS dan NKRI
Alkisah, ada kuda milik bersama penduduk desa yang terluka, mengamuk tak dapat dikendalikan hingga merusak lahan pertanian. 
Orang pertama bersikap ingin membunuh kuda itu segera meski kuda tersebut satu-satunya yang dimiliki warga satu desa. 
Orang kedua bersikap acuh tak acuh dengan membiarkan kuda berkeliaran dan merusak tanaman, karena ia senantiasa yakin perangkat desa dan pak Hansip senantiasa sigap menangkap. 
Sedang orang ketiga ingin menangkap, mengobati, menjinakkan kuda hingga bisa dikendalikan untuk kembali bisa digunakan mengangkut beban warga dan untuk kemaslahatan seluruh penduduk desa, meski ia kadang harus terdepak kaki kuda, terciprat darah dan kotoran.

Orang pertama dalam kisah di atas mewakili kelompok HTI dalam melihat konteks NKRI, orang kedua adalah Salafi dan ketiga adalah PKS.


Sebagai gerakan yang memilih wasatiyah (pertengahan) dalam manhajnya, gerakan tarbiyah senantiasa melihat konteks UU yang berlaku di sebuah Negara (Manhaj Ishlah: 104). Maka jika dilihat, gerakan tarbiyah adalah gerakan yang paling asertif menyikapi kondisi tiap negara. Mereka tidak akan teriak tegakkan syariat atau revolusi sekarang juga, karena hal tersebut bertengtangan dengan manhaj dakwahnya yang mensyaratkan nilai logis dan diterima masyarakat. Dalam konteks ini, amat logis jika di daerah konflik seperti Palestina dan Suriah mereka akan mengangkat senjata (sebagaimana RI saat era kemerdekaan). Namun di negara-negara damai seperti Indonesia, mereka akan berjuang berdasarkan UU yang berlaku. Hal ini berbeda dengan HTI yang di tiap negara slogannya sudah satu: tegakkan khilafah. Sedang Salafi akan senantiasa menyerukan pemurnian akidah sebagai satu-satunya solusi umat.

Pandangan dakwah kaum Tarbiyah ini lebih soft karena menerima pendapat para pakar di bidang dan profesional dalam mengkaji sebuah isu nasional. Saat menelaah isu BBM atau masalah ekonomi misalnya, PKS akan mengundang para pfofesor di bidangnya untuk berbicara dan merumuskan solusi. Berbeda dengan HTI yang apapun permasalahan umat ini, bagi mereka hanya bisa diobati dengan satu obat mujarab; tegaknya Khilafah. Mereka akan menolak solusi selain khilafah meski datang dari seorang profesor universitas nomor wahid sekalipun. Atau juga misalnya gerakan salafi yang menyerahkan semua urusan kenegaraan ke pemerintah, seburuk apapun kondisi birokrasinya. Bagi mereka, yang terpenting akidah masyarakat lurus. Ketika aqidah sudah lurus maka kehidupan masyarakat akan serasi dengan sendirinya.

Sebagaimana para pemikir politik Islam pada umumnya, Ikhwan tidak memberikan preferensi tententu apakah sebuah negara harus berbentuk khilafah, republik atau kerajaan. Asalkan nilai-nilai esensi ajaran Islam dapat direalisasikan, apapun bentuk pemerintahan dapat diterima secara syariah. Namun tetap adanya institusi negara yang pro Islam menjadi penekanan mereka. Sebagaimana disinggung Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa nilai-nilai dan tata sosial Islam tidak akan terealisasi secara ideal tanpa negara.
Madzhab Kelima

Sebutan wahabi sebenarnya juga tidak tepat dialamatkan ke PKS, karena manhajnya begitu asertif terhadap madzhab lain. Dakwahnya senantiasa berusaha untuk menjauhi titik-titik khilafiyah dan bersifat wasatiyah (pertengahan). Bahkan ada yang menyebut sikap keislaman PKS sebagai madzhab baru yang berusaha menyatukan perbedaan 4 madzhab yang ada, dimana ia sangat luwes akan keragaman madzhab fikih. Saat sholat di belakang imam yang membaca qunut, maka orang Tarbiyah akan mengikuti imam dengan menengadahkan tangan seraya membaca qunut. Jika bersama imam yang tidak qunut pun mereka tidak keberatan untuk mengikuti. Bandingkan dengan orang Muhamamdiyah yang saat sholat dibelakang imam yang baca qunut, ia tetap istiqomah untuk tidak membaca qunut.

Sifat kemoderatan Fikih PKS terlihat juga dalam sholat tarawih. Jika NU dan Muhhammadiyah masih ngotot soal jumlah rakaat tarawih, maka kaum tarbiyah menerima keduanya dan melaksanakan sholat sesuai kebiasaan masjid di lingkungannya. 

Sikap yang jauh dari fanatisme madzhab sesuai prinsip dakwahnya yakni dari permasalahan-permasalahan furu’ dan parsial menuju permasalahan mendasar dan universal, dari perpecahan dan perseteruan menuju persatuan dan perpaduan (Manhaj Ishlah: 106).



Lebih lanjut saat menjadi pengurus masjid, biasanya orang PKS lebih asertif terhadap berbagai kegiatan masyarakat lintas jamaah seperti acara tahlilan atau peringatan Hari Besar Islam. 

Hal yang sama tidak mungkin terjadi saat pengurus masjidnya orang salafi. Semua kegiatan akan dilarang dengan dalil acara dan peringatan tersebut tidak diajarkan Nabi dan merupakan perkara bid’ah. 

Dakwah Tarbiyah menolak mengkafirkan manusia dan berlaku ekstrem kepada mereka dengan pengingkaran dan ancaman. Namun berupaya menjadi qudwah, berbuat baik kepada mereka dan melakukan perbaikan secara bertahap, berusaha menyatukan hati dan persatuan umat serta tidak menyulut kebencian diantara mereka. (Manhaj Ishlah:188)

Jika Muhammadiyah senantiasa bersikukuh atas metode hisab wujudul hilal-nya meski bertentangan dengan pemerintah dalam menentukan hari raya, maka tidak bagi kaum Tarbiyah. 

Mereka akan dengan setia menunggu pengumumam resmi dari pemerintah sebelum melaksanakan takbir dan berhari raya. Mereka memilih berlebaran bersama pemerintah dan mayoritas kaum muslimin. 

Hal ini sebagaimana doktrin gerakan Tarbiyah dimana Ikhwan menghormati aspirasi umat dengan sebenarnya, membiarkan ijtihad sesuai tuntutan zamannya, menjunjung tinggi keinginan umat walaupun berbeda dengan pandangan ikhwan, maka ikhwan memilih mengalah dan berjalan beriringan bersama umat (Manhaj Ishlah: 200).

Seiring penerimaannya dengan UU yang berlaku di masyarakat sebagaimana digariskan oleh manhajnya, kaum Tarbiyah memandang bahwa pembentukan pemerintahan Islam tidak bisa dilakukan dengan aksi kekerasan. 

Karenanya, Ikhwan menolak manhaj kudeta dan revolusi serta model manhaj memberontak terhadap pemerintah. Cara revolusi dekonstruksi dan meledaknya titik-titik tekanan, tersulutnya permusuhan dan pemberontakan antar kelompok hanya akan melumpuhkan potensi umat. 

Pada gilirannya yang akan menggulingkan pemerintah dan menguasainya orang yang punya kecederungan dan kekuatan paling besar dalam memanfaatkan situasi kacau dan persaingan (Manhaj Ishlah: 183).

Ikhwan juga menolak kelompok yang hanya melihat kekuatan militer sebagai obsesi yang paling besar untuk melenyapkan kebathilan, sebagaimana dianut HTI yang percaya bahwa thalabun nusroh yakni merebut kekusasaan dengan jalan revolusi dan kekuatan militer sebagai jalan menegakkan cita-cita mereka; khilafah. 

Perubahan yang diinginkan Ikhwan adalah perubahan yang alami, gradual, integral tidak parsial serta mematuhi undang-undang-undang di masyarakat. Karenanya Ikhwan menolak aktivitas politik praktis dengan penuh ambisi dan melupakan sisi-sisi yang lain yang jauh lebih penting yakni memulai dengan pembentukan, tarbiyah serta aktivitas pemikiran dan sosial. 

Bagi gerakan Tarbiyah, cita-cita menegakkan nilai-nilai Islam dimulai dengan memperbaiki individu, kemudian perbaikan keluarga, dari keluarga akan terbentuk masyarakat yang Islami, hingga ke ranah negara dan akhirnya terbentuk tatanan dunia yang lebih adil (Manhaj Ishlah: 43). 

Dari sinilah nama Tarbiyah (pendidikan) berasal, dimana mereka memfokuskan pembentukan individu yang paripurna melalui serangkaian pembinaan terarah dan terstruktur secara rapi dan rigid.

Ikhwan juga menerima demokrasi sebagai sebuah ijtihad manusia dalam mengatur negara, meski dengan berbagai catatan. Tokoh Ikhwan terkemuka Dr. Yusuf Qaradhawi (1997) berpendapat bahwa substansi demokrasi sejalan dengan Islam karena Islam dan demokrasi sama-sama menolak diktatorisme. 

Dalam Islam terdapat konsep penyelenggaraan kekuasaan dengan prinsip amanah, musawah (persamaan), ‘adalah, syuro, ijma’, dan baiat. Prinsip demokrasi dalam al-Quran begitu kuat. Yang diperlukan adalah reformulasi dan reinterpretasi.

Argumen yang menunjukkan kesesuaian Islam dan demokrasi adalah penolakan Islam terhadap kediktatoran Namrudz dan Firaun (QS. al-Baqarah:258 dan ad-Dukhan:31); pemilu sebagai kesaksian rakyat (al-Baqarah 282-283), pengecaman terhadap rakyat yang hanya membebek saja (QS. Al-Qashash: 8, 24), negara Islam menjunjung tinggi toleransi dan pluralitas sebagai sunnatullah (QS. al-Baqarah 256, Huud:118 Yunus: 99).
Penutup

Menelisik sikap PKS langsung dari manhaj gerakannya, kita akan dapati bahwa sebenarnya gerakan tarbiyah tersebut merupakan gerakan Islam yang menggariskan prinsip moderat (wasatiyah), asertif terhadap ijtihad dan perbedaan dari kelompok lain, serta menghormati UU di Negara setempat. 

Adapun cap radikal yang disematkan pada gerakan ini oleh beberapa pihak lebih disebabkan karena kondisi sulit penjajahan di beberapa negara sebagaimana dihadapi rakyat Palestina atau negara lain yang sedang berkonflik seperti Suriah. 

PKS dan gerakan sejenis di negara-negara lain di dunia sebagian besarnya memilih jalan damai mengishlah negara melalui demokrasi seperti AKP di Turki, Partai En-Nahda di Tunisia serta FJP di Mesir.




Pemimpin AKP Erdogan dan Pemimpin En-Nahda Tunisia Ghornochi (Anadolu)

Moderasi manhaj PKS ini layak menjadi solusi model keislaman masyarakat yang toleran terhadap perbedaan, semangatnya untuk islah (juru damai) segala perbedaan di antara umat Islam sangatlah mulia. 

Sayangnya, masyarakat Indonesia kini masih cenderung mempersepsi PKS sebagai kaum puritan yang kaku, serta berperilaku politik yang tidak berbeda dengan partai pada umumnya. 

Tak sedikit kader secara liar bersikap keras di medsos dengan manuver pribadi yang tidak terkontrol dalam menyerang pihak lain yang berseberangan termasuk pemerintah. Bahkan Presiden PKS sampai memberikan arahan bertajuk kecerdasan literasi dan perintah bersikap santun di Medsos untuk para kadernya.

Kini tinggal satu pertanyaan, mengapa Manhaj Ishlah kaum Tarbiyah yang sebenarnya moderat dan toleran pada kelompok lain nyatanya tidak berkorelasi positif dengan persepsi masyarakat pada PKS? Apa yang salah? Penulis tidak akan menjawabnya. Biarlah hal tersebut menjadi PR presiden PKS beserta jajarannya.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts