Dalam
kaitannya dengan masalah politik dan hidup bernegara, Islam memandangnya
sebagai unsur integral dalam kehidupan manusia. Karena itu, tidak salah
jika kita mengatakan Al-Islam dinun wa daulah (Islam sejatinya adalah
agama sekaligus negara atau politik), Al-Islam ‘aqidah wa qanun (Islam
adalah sebuah kepercayaan yang berdasarkan undang-undang).
Di
tengah situasi politik di Indonesia yang sedang sangat buruk dan
ditengarai dengan banyaknya kasus korupsi. Maka tak heran, jika sekarang
ini banyak orang yang mengatakan, bahwa politik itu jelek, politik
kotor, politik itu kejam, politik itu tak kenal kawan atau lawan.
Padahal menurut Islam politik itu tidak kotor, bahkan politik itu
menjadi suatu keharusan fitrah manusia di muka bumi ini. Tidak ada orang
hidup di dunia ini yang tidak terlibat kegiatan politik, apakah dia
menjadi pengikut keputusan politik atau menjadi pembuat keputusan
politik.
Oleh sebab itu, tidak heran jika Imam Ghazali, sang
hujjatul Islam itu mengatakan, “al-din wa al-sulthan tauaman, la yatimmu
ahaduhuma duna al akhori, fa al dinu ushulun wa al sulthan harits,wa ma
la haritsa lahu fa hadmuhu lazim ” (Beragama dan mempunyai kekuasaan
politik itu dua saudara kembar. Tidak akan berjalan yang satu tanpa yang
lainnya. Maka, agama adalah dasar untuk berjuang, dan politik itu
sebagai pengawal. Karena sesuatu yang tidak ada pengawalnya itu pasti
gagal).
Maka, ketika kita mempunyai kekuasaan agama tetapi tidak
mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi kebijakan politik, maka kita akan
merasakan kesulitan. Begitu juga sebaliknya, ketika kita mempunyai
kekuasaan politik tetapi tidak beragama, maka kita akan sesat dan
sewenang-wenang.
Kalangan umat Islam meyakini pandangan
integralistik ini sebagai paradigma politik Islam yang ideal. Artinya,
Islam tidak membedakan antara agama dan politik. Oleh karena itu Islam
sebagai agama kaffah (lengkap dan sempurna), maka Islam mengurusi semua
kehidupan umat manusia, termasuk urusan politik.
Islam kemudian
menjadi ideologi bagi masyarakat dalam rangka yang lebih konkret, bahwa
Islam memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menegakkan negara. Karena
agama dan negara mempunyai hubungan simbiotik, yaitu hubungan timbal
balik dan saling membutuhkan atau memerlukan. Di satu sisi agama
memerlukan negara agar dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan
agama untuk mendapatkan bimbingan moral dan etika.
Lalu, bagaimana
sikap kaum beragama di tengah situasi politik yang tengah dicederai
dengan korupsi, kolusi dan lemahnya penegakan hukum seperti yang kita
lihat saat ini. apakah politik itu memang harus dijauhi orang-orang yang
beragama? Tidak. Malah justru orang yang beragama dengan benar dan
ingin menegakkan kebenaran haruslah berpolitik.
Mungkin Anda masih
ingat dengan pernyataan Jamaluddin al-Afghany, Gurunya Muhammad Abduh
yang seakan-akan mewajibkan umat Islam berpolitik. Katanya, agar
kebijakan negara bisa memancarkan keagungan ajaran Islam, orang-orang
Islam harus mengisi kursi-kursi parlemen melalui kegiatan politik.
Substansi pernyataan Al-Afghany tersebut sama persis dengan apa yang
disampaikan secara berapi-api oleh Sang Proklamator Bung Karno pada saat
sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK)
tanggal 1 Juni 1945.
Dalam pidatonya itu, Bung Karno mengemukakan
bahwa kalau orang-orang Islam yang ingin agar hukum-hukum di Indonesia
bernuansa Islam, hendaknya orang-orang Islam berjuang untuk merebut
sebanyak-banyaknya kursi di parlemen, sehingga bisa memengaruhi
pembuatan hukum. Begitu juga, jika orang-orang Kristen menginginkan agar
hukum-hukum di Indonesia bercorak Kristen, maka orang-orang Kristen
harus berjuang sekuat-kuatnya untuk merebut kursi-kursi di parlemen.
Untuk
kaum muslimin, pernyataan yang dikemukakan Al-Afghany dan Soekarno itu
tidak lain berdasarkan pada kaidah ushul fiqh yang berbunyi, “Ma la
yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib” (Jika suatu kewajiban itu
tidak dapat dilakukan tanpa adanya atau tanpa melakukan sesuatu yang
lain, maka mengadakan atau melakukan sesuatu yang lain itu wajib juga
adanya). Jika menegakkan amar makruf nahi munkar atau menegakkan
keadilan dan kebenaran itu tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa
berpolitik, maka berpolitik itu hukumnya menjadi wajib.
Namun
sekarang ini, realitas kotornya politik yang tengah kita saksikan setiap
hari di berbagai media massa itu, seharusnya menjadi renungan bagi
kita. Bagaimana tidak, sudah berapa banyak kaum agamawan dan Ilmuwan
yang kita harapkan mampu membangun bangsa ini, justru ikut terseret arus
politik yang busuk. Maraknya kasus korupsi misalnya, sekarang pelakunya
tidak hanya para politikus. Melainkan guru, ustadz, dosen dan bahkan
kiyai pun ikut kesandung kasus ini. Mereka yang seharusnya mengurus,
malah menjadi urusan. apa sebenarnya yang sedang terjadi di negeri kita
ini?
Rasanya memang benar apa yang dikatakan Imam Al Ghazali itu,
“Fasadu al-Ra’iyyah bifasadi al-Umara’, wa fasadu al-Umara’ bifasadi
al-Ulama’, wa fasadu al-Ulama’ bi hubbi al- mal” (Rusaknya masyarakat
dalam bernegara itu karena pemerintahnya yang rusak, pemerintah itu
rusak karena ilmuwannya rusak, ilmuwan itu rusak karena ilmuwan itu
cinta harta).
Jangan-jangan ini yang sedang terjadi di Indonesia
saat ini, dimana rakyat bersikap brutal dalam peristiwa sehari-hari,
juga peran ilmuwan sekarang ini banyak diragukan. Karena mereka tidak
mengeluarkan fatwa atau memberi pendapat berdasarkan pandangan yang
obyektif ilmiah. Tetapi sering kali berdasar pesanan, sering kali berapa
uang ia dapat untuk mengeluarkan suatu pendapat hasil survei,
penelitian atau hasil apapun. Untuk itu, saatnya kita menyadari bahwa
Rakyat, Ulama, dan Umara harus pada posisi yang benar, agar negara ini
aman dan sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar