Meskipun harus berangkat di pagi buta, saat dingin menyelimuti Hongkong. Tidak mengurangi semangatku untuk segera berkumpul bersama rombongan Tour, menaiki MTR jurusan Lok WU untuk kemudian mengantri di Imigrasi, menuju ke Cina Selatan. Berziarah ke makam Sa’ad Bin Abi Waqash.
Kenapa harus Cina?
Ada apa dengan Cina?
Mendengar Cina, tentu yang terbayang di benak kita adalah tembok berukuran raksasa terpanjang dalam sejarah, yang di nobatkan sebagai salah satu dari keajaiban dunia. Namun, bagiku, ada yang lebih menarik dari itu. Menyusuri sejarah kegemilangan Islam yang terlupakan.
Di zaman Rasulullah, bangsa Arab mengenal Cina tidak hanya ahli dalam perdagangan di seluruh dunia. Tetapi negara yang memiliki peradaban yang sangat tinggi. Bahkan bangsa Arab melakukan perdagangan sudah 500 tahun sebelum kelahiran Nabi Isa As. Tujuan para saudagar Arab ini Adalah Pulau Guang Zhou yang merupakan pusat perdagangan dan pelabuhan utama Cina.
Masa Khalifah Utsman bin Affan. Sa’ad bin Abi Waqash diminta secara pribadi untuk membangun hubungan dengan Cina dalam misi dakwah. Berangkatlah Sa’ad melalui jalur yang sekarang kita kenal dengan “jalur sutra”. Pada tahun 651 M, pada zaman Dinasti Tang, Kaisar menerima kedatangan Sa’ad bersama sahabat dengan baik. Tanda kesepakatan dan kenangan kepada Islam, Kaisar memerintahkan membangun masjid di Guang Zhou. Masjid ini masih kokoh berdiri, walau usianya kurang lebih 1300 tahun. Di kenal dengan nama Masjid Huaishang.
Siang itu, kususuri potret-potret masjid dari masa ke masa, membandingkannya dengan masjid yang tersergam indah di depan mataku. Nampak jelas bahwa bangunan masjid telah mengalami beberapa renovasi. Shalat jama’ah Dhuhur di sana terasa tenang. Bukan karena berkesempatan melihat peninggalan sejarah. Tetapi berbaur bersama warga kulit putih dengan mata sipit yang di Indonesia diidentikkan dengan kristian, pelit dan sebagainya. Mereka selalu menyungging senyuman kepada para pengunjung yang datang. Mereka mengulurkan tangan, berpelukan dan hanya mampu mengucapkan salam tanpa ada percakapan selanjutnya karena keterbatasan pemahaman bahasa kami yang minim. Sudah membuat cukup bagiku memaknai sebuah ikatan ukhuwah persaudaraan sesama muslim.
Berkesempatan berada di depan makam Sa’ad bin Abi Waqash cukup lama, membuatku sejenak merenung. Perjuangan itu memang membutuhkan pengorbanan. Meninggalkan tanah kelahiran, rela jauh dari sahabat juga keluarga. Mengemban misi mulia dengan perbedaan bahasa tentu bukan hal yang mudah. Hingga sekarang, Islam hampir menyebar ke seluruh pelosok Cina.
Perjuangan yang luar biasa dari seorang paman nabi yang amat disayanginya itu. Salah satu dari sepuluh sahabat yang dijanjikan Surga.
Sa’ad tidak hanya cerdas. Punya keberanian maju ke medan perang sejajar Singa Allah, tetapi seorang teladan yang benar-benar berani membela agamanya, mempertahankan keyakinan sekalipun ditentang ibundanya. Kisah hidup yang penuh dengan hikmah dan teladan.
“Tuntutlah Ilmu sampai ke Negeri Cina”
Melahirkan penafsiran yang berbeda dalam ruang hatiku. Pemberitahuan terselubung atas pernyataan bangga dan rindu Rasulullah, bahwa di Cina Sa’ad bin Abi Waqash berada. Kita bisa menimba ilmu dan belajar Islam darinya. Di Cina, Sa’ad bin Abi Waqash mewakafkan dirinya untuk Agama.
Sa’ad meninggal di Guangzhou. Sebuah pusara diyakini makamnya. Namun, sebagian orang beranggapan Sa’ad meninggal di Madinah. Di manapun Sa’ad dimakamkan, bagiku beliau berperan penting dalam perkembangan Islam di Cina.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar